Responsive Banner design
Home » , » TEKNIK PEMOTONGAN TERNAK BESAR

TEKNIK PEMOTONGAN TERNAK BESAR


1.      PENDAHULUAN
1.1.            Latar belakang
Peternakan adalah salah satu bidang pertanian yang menghasilkan komoditas daging, susu, telur dan hasil-hasil olahannya serta hasil sisa produksi.  Daging sebagai salah satu bahan makanan yang hampir sempurna, karena mengandung gizi yang 
lengkap dan dibutuhkan oleh tubuh, yaitu protein hewani, energi, air, mineral dan vitamin.  Disamping itu, daging memiliki rasa dan aroma yang enak, sehingga disukai oleh hampir semua orang.
Daging yang umum dikonsumsi berasal dari hasil pemotongan berbagai jenis ternak potong, antara lain ternak ruminansia besar seperti sapi dan kerbau, ternak ruminansia kecil seperti domba, kambing, babi, dan kelinci serta berbagai jenis ternak unggas seperti ayam, itik, kalkun,  dan lain-lain.
Secara umum mekanisme urutan pemotongan ternak ruminansia besar seperti sapi dan kerbau di Indonesia terdiri dari beberapa tahapan, mulai dari tahap pengistirahatan dan pemeriksaan sebelum pemotongan, tahap proses penyembelihan, dan tahap penyiapan karkas.
Hasil pemotongan ternak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian karkas dan bagian bukan karkas atau lazim disebut bagian non karkas.  Karkas merupakan hasil utama pemotongan ternak dan mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi daripada non karkas, sesuai dengan tujuan pemotongan ternak, yaitu untuk mendapatkan daging.  Bagian non karkas atau yang lazim disebut “offal” terdiri dari bagian yang layak dimakan (“edible offal”) dan bagian yang tidak layak dimakan (“inedible offal”).
Ternak ruminansia besar seperti sapi dan kerbau menghasilkan karkas yang besar dan berat, sehingga untuk mentransportasikan ke pusat-pusat pemasaran atau ke tempat-tempat prosesing dalam keadaan utuh adalah tidak praktis.  Oleh karena itu sebelum pemasaran atau prosesing lebih lanjut, karkas sapi atau kerbau dibelah menjadi dua bagian dan masing-masing belahan karkas di potong lagi menjadi bagian perempat depan atau “fore quarter” dan bagian perempat belakang atau “hind quarter”.  Untuk pemasaran selanjutnya, seperti pen-jualan secara eceran atau “retail cuts”, untuk ke-perluan restoran, hotel atau instansi dan lembaga-lembaga tertentu, karkas sapi atau kerbau dipotong-potong lagi menjadi recahan karkas utama atau potongan “primal cut”, juga lazim disebut “wholesale cuts”,  dan recahan karkas kecil atau potongan “sub primal”, juga lazim disebut“retail cuts”.
Daging yang dihasilkan dari tempat pemotongan hewan, baik tempat pemotongan sederhana sampai rumah potong hewan pabrik sebelum dipasarkan terlebih dahulu harus diperiksa untuk mencegah hal-hal yang dapat merugikan konsumen dan mencegah penularan penyakit diantara ternak, maka dilakukan pemeriksaan.
Pemeriksaan terhadap karkas atau daging, dilakukan dalam dua tahap pemeriksaan, yaitu pemeriksaan sebelum ternak dipotong (“antemortem”) dan pemeriksaan  setelah pemotongan (“postmortem”).  Pemeriksaan “ante-mortem” adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadap hewan ternak sebelum dipotong, sedangkan pemeriksaan “postmoertem” adalah pemeriksaan terhadap  bagian karkas, alat-alat dalam (“viscera”) dan produk akhir dari ternak yang telah dipotong.


2.      PEMBAHASAN

2.1.            TEKNIK PEMOTONGAN TERNAK RUMINANSIA BESAR
2.1.1.      Macam Tempat Pemotongan Hewan Ternak
Pelaksanaan pemotongan atau penyembelihan hewan ternak ruminansia besar seperti ternak sapi dan kerbau, dapat dilakukan oleh siapa dan dimana saja, tetapi harus memenuhi beberapa pesyaratan tertentu, dan menggunakan fasilitas atau peralatan khusus sehingga karkas atau daging yang dihasilkan layak dan aman dikonsumsi oleh manusia. 
Berdasarkan tipe fasilitas yang digunakan dalam pelaksanaan pemotongan ternak, tempat pemotongan ternak dibedakan menjadi tiga macam, yaitu tempat pemotongan terbuka di pedesaan, rumah potong hewan (RPH) umum dan rumah potong pabrik (Williamson dan Payne, 1993).
Tempat pemotongan hewan terbuka yang sederhana umumnya terdapat di daerah pedesaan yang belum maju dan fasilitas yang dipergunakan masih relatif sederhana berupa penggantung-penggantung berkerek sederhana yang terbuat dari bahan kayu atau pipa baja dan pelaksanaan pemotongan masih dilakukan oleh jagal-jagal secara perseorangan di lapangan terbuka, semak-semak atau halaman belakang rumah.  Sedangkan rumah potong hewan umum (RPH) dan rumah potong pabrik, sudah menggunakan fasilitas dan peralatan modern dan mempunyai beberapa ruangan khusus untuk pelaksanaan pemotongan ternak, pendinginan dan penyimpanan karkas.  Perbedaan antara rumah potong hewan umum dan rumah potong pabrik hanya terletak pada sistem manajemen kerja, dimana rumah potong hewan (RPH) umum hanya beroperasi melayani kebutuhan konsumen, dalam hal ini adalah hanya melayani para pedagang daging untuk melakukan pemotongan hewan ternak saja, sedangkan rumah potong pabrik merupakan salah satu bagian atau unit kerja dari suatu perusahaan yang bergerak mulai dari pemeliharaan dan pembelian ternak, operasi pemotongan, penyimpanan, pengolahan daging, penggunaan hasil-hasil sampingan sampai pen-jualan hasil pemotongan kepada para jagal atau langsung kepada konsumen.

2.1.2.      Syarat-syarat Pemotongan ternak.
Sebelum melakukan pemotongan atau penyembelihan pada hewan ternak, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain :
1.   Ternak yang akan dipotong harus dalam kondisi sehat, berdasarkan hasil pemeriksaan dokter hewan atau mantri hewan yang berwenang.  Yang dimaksud dengan ternak sehat, yaitu ternak tersebut tidak menderita sakit, baik oleh penyakit yang menular maupun penyakit yang tidak menular.  Ternak yang sakit tersebut dapat disembelih dengan beberapa syarat sebagai berikut :
a.    pada penyakit mulut dan kuku (“Apthae epizootica”), setelah ternak disembelih, maka bagian organ dalam, kepala bagian mulut, lidah dan kaki harus direbus sebelum diedarkan atau diperdagangkan. 
b.  pada penyakit surra ternak harus dipotong pada waktu malam hari, karena penyakit tersebut dapat ditularkan oleh lalat, dan,
c.    pada penyakit anthraks, setelah ternak disembelih, harus secepatnya dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur yang dalam pada lokasi yang jauh dari pemukiman maupun tempat pe-meliharaan ternak.
2.    Ternak harus tidak dalam keadaan lelah atau habis dipekerjakan, hal ini berhubungan dengan penampilan karkas yang akan dihasilkan.
3.     Ternak yang akan disembelih harus sudah tidak produktif lagi atau tidak dipergunakan sebagai bibit.  Yang dimaksud dengan ternak yang sudah tidak produktif, yaitu ternak betina yang sudah tidak dapat menghasilkan anak (tua) dan ternak betina yang tidak dapat bunting (manjir).  Ternak yang tidak dipergunakan sebagai bibit, yaitu ternak jantan yang tidak dipergunakan sebagai pejantan atau bibit.
4.        Ternak yang disembelih dalam keadaan darurat, yaitu :
a. ternak yang mengalami kecelakaan, misalnya patah kaki atau cedera berat lainnya pada saat dipekerja-kan, sehingga dapat menyebabkan kematian.
b. ternak yang luka parah, karena kecelakaan kendaraan, tetapi masih hidup dan diperkirakan akan mati apabila tidak disembelih,
c.  ternak yang menderita sakit atau hampir mati,
d.  ternak yang disembelih untuk keperluan tertentu, misalnya hajatan.

Pelaksanaan pemotongan ternak dalam keadaan darurat tidak harus di rumah potong hewan, tetapi setelah disembelih harus diperiksa oleh dokter hewan atau petugas Dinas Peternakan yang berwenang untuk menentukan apakah hasil pemotongan aman bagi orang yang memakannya.

2.1.3.      Mekanisme Pemotongan Ternak Ruminansia Besar
Secara umum mekanisme urutan pemotongan atau penyembelihan ternak ruminansia besar seperti sapi dan kerbau di Indonesia, dibagi menjadi dua bagian, yaitu proses penyembelihan dan proses penyiapan karkas. Proses penyembelihan meliputi proses perlakuan sebelum pemotongan, teknik penyembelihan dan pengeluaran darah, sedangkan proses penyiapan karkas meliputi beberapa kegiatan, antara lain pemisahan bagian kepala dan kaki, pengulitan, pembelahan dada dan pengeluaran jeroan, pembelahan karkas, dan pendinginan karkas.  Sebelum karkas diproses lebih lanjut, seperti pelayuan dan perecahan karkas menjadi potongan utama dan potongan kecil dilakukan pemeriksaan terhadap karkas yang dihasilkan (pemeriksaan “postmortem”).

2.1.3.1.     Proses Penyembelihan
2.1.3.1.1.   Perlakuan Sebelum Pemotongan
Perlakuan atau penanganan hewan ternak sebelum dipotong akan mempengaruhi nilai karkas atau daging yang dihasilkan.  Untuk sampai ke tempat pemotongan ternak-ternak tersebut mengalami perjalanan dari tempat asalnya, dan selama dalam perjalanan, sering terjadi kerusakan atau cacat pada kulit dan mutu karkas.  Selain itu akibat perjalanan dapat menimbulkan cekaman (stres) pada ternak yang akan menyebabkan terjadinya penyusutan pada bobot badan.  Penyusutan bobot badan ini berkisar 2 - 5 persen, besarnya persentase penurunan bobot badan ini dipengaruhi oleh iklim, jarak antara asal ternak dengan rumah potong hewan (RPH), cara transportasi, kondisi kesehatan dan daya tahan ternak (Natasasmita, 1987).
Salah satu syarat yang harus diperhatikan dalam proses pemotongan ternak untuk memperoleh mutu karkas atau daging yang baik, yaitu ternak yang akan dipotong harus tidak dalam keadaan lelah atau habis dipekerjakan.  Oleh karena itu ternak yang akan dipotong harus diistirahatkan dalam tempat penampungan khusus (“Holding Ground”).  Dalam tempat penampungan harus dijaga agar ternak tidak saling beradu, karena bila hal itu terjadi maka perlakuan istirahat tidak akan bermanfaat, bahkan menurunkan kualitas pemotongan.   Lamanya pengistirahatan ternak yang akan dipotong bervariasi.  Menurut Gerrard (1977) ternak sapi yang akan dipotong sebaiknya diistirahatkan selama  24 - 36 jam, Williamson and Payne (1993) 16 - 24 jam, dan Soeparno (1994) 12 - 24 jam.
Maksud perlunya ternak diistirahatkan sebelum dipotong adalah :
a.    agar ternak tidak mengalami cekaman (stres),
b.    agar pada saat disembelih darah dapat keluar sebanyak mungkin, dan
c.  agar cukup tersedia energi, sehingga proses kekakuan karkas atau yang lazim disebut proses “rigormortis” berlangsung secara sempurna.

Menurut Soeparno (1994) pada dasarnya ada dua cara untuk mengistirahatkan ternak sebelum dipotong, yaitu dengan dipuasakan dan tanpa dipuasakan.  maksud pemuasaan yang dilakukan pada ternak yang akan dipotong adalah : 
a.  untuk memperoleh bobot tubuh kosong (BTK), yaitu bobot tubuh setelah dikurangi isi saluran pencernaan, isi kantung kencing dan isi saluran empedu,
b.    untuk mempermudah proses penyembelihan, terutama ternak yang agresif atau liar, karena dengan dipuasakan, ternak menjadi lebih tenang,
c.  untuk mengurangi pencemaran isi saluran pencernaan terhadap karkas selama proses penyiapan karkas. Selama pengistirahatan dengan pemuasaan, ternak tidak diberi makan apapun hanya diberi air minum secukupnya untuk menghilangkan rasa haus.

Maksud pengistirahatan ternak sebelum dipotong dengan cara tanpa dipuasakan adalah :
a.  agar pada waktu disembelih, darah dapat keluar sebanyak mungkin, karena ternak lebih kuat meronta, mengejang atau berkontraksi.  Pada kondisi ini, darah yang disemburkan keluar akan lebih sempurna,
b.    agar ternak yang dipotong tidak mengalami cekaman (stres).

Selama masa pengistirahatan dilakukan pula pemeriksaan “antemortem” berupa inspeksi.  Maksud pemeriksaan “antemortem” adalah :
a.    untuk mengetahui ternak-ternak yang cedera, sehingga harus dipotong sebelum ternak lainnya, dan
b.    untuk mengetahui ternak-ternak yang sakit dan harus dipotong secara terpisah atau harus diperiksa secara khusus (Swatland, 1984).

Ternak yang sudah dinyatakan sehat oleh dokter hewan atau petugas yang berwenang, diberi cap huruf S (“slaughter” = potong) serta sudah diistirahatkan, kemudian di siram dengan air dingin sebelum dibawa ke ruang pemotongan.

Maksud penyiraman dengan air dingin adalah :
a.    agar ternak menjadi bersih sehingga kebersih-an karkas lebih terjamin, dan
b.  agar terjadi kontraksi perifer (faso kontraksi), sehingga darah di bagian tepi tubuh menuju ke bagian tengah tubuh dan pada waktu disembelih, darah dapat keluar sebanyak mungkin, serta memudahkan proses pengulitan.

2.1.3.1.2.   Pemingsanan dan Penyembelihan
Menurut Soeparno (1994) pada dasarnya ada dua cara atau teknik pemotongan atau penyembelihan ternak, yaitu teknik pemotongan ternak secara langsung dan teknik pemotongan ternak secara tidak langsung.  Pemotongan ternak secara langsung, dilakukan setelah ternak diperiksa dan dinyatakan sehat, maka ternak langsung dapat disembelih.  Pemotongan ternak secara tidak langsung ialah ternak dipotong setelah dilakukan pemingsanan (“stunning”) dan ternak telah benar-benar pingsan.
Maksud pemingsanan pada ternak yang akan disembelih adalah :
a.    untuk memudahkan pelaksanaan penyembelihan ternak,
b.    agar ternak tidak tersiksa dan terhindar dari resiko perlakuan kasar,
c.    agar kualitas kulit dan karkas yang dihasilkan lebih baik, karena pada waktu menjatuhkan, ternak tidak banyak terbanting atau terbentur benda keras, sehingga terjadinya cacat pada kulit atau memar pada karkas dapat dihindarkan seminimal mungkin.

Pemingsanan (“Stunning”) ternak yang akan dipotong dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :
a.    dengan alat pemingsan atau yang lazim disebut “knocker”,
b.    dengan senjata pemingsan atau yang lazim disebut “stunning Gun” atau “captive bolt”, yaitu suatu tongkat yang bekerja di dalam suatu silinder yang diaktifkan oleh suatu muatan yang eksplosif yang menyerupai selongsong kosong ditembakkan oleh suatu tekanan,
c.    dengan cara pembiusan mengguna-kan karbondioksida (CO2), terutama untuk proses pe-motongan sapi muda (“calf” atau “veal”),
d.   dengan menggunakan arus listrik (stroom) pada bagian bibir sapi (Ensminger, 1991;  Blakely and Bade, 1992).

Bila pemingsanan ternak yang akan dipotong dilakukan dengan menggunakan alat atau senjata pemingsan, maka alat atau senjata yang telah diisi peluru diletakkan tepat pada titik tengah kening tulang kepala sedikit di bagian atas antara kedua kelopak mata.  Piston martil diarahkan ke otak secara tepat dan pelatuk ditarik sehingga peluru meledak menggerakkan piston martil berkecepatan tinggi mengenai otak dan ternak menjadi pingsan.  Pada pemingsanan dengan menggunakan senjata pemingsan, selongsong peluru akan tertinggal di dalam senjata dan dapat diambil.  Penyembelihan dilaksanakan setelah ternak benar-benar pingsan.
Sapi yang telah pingsan kemudian dibawa ke ruang pemotongan.  Proses penyembelihan di Indonesia umumnya dilakukan secara manual melalui pemutusan sebagian kulit, otot, arteri karotis, vena jugularis, trakhea dan esofagus dengan menggunakan pisau potong, serta ternak dihadapkan ke arah kiblat, sehingga bagian kepala ternak ada di sebelah selatan dan ekor disebelah utara.  Pemotongan secara manual ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan halal dari produksi daging yang dihasilkan.

2.1.3.1.3.   Pengeluaran Darah
Proses pengeluaran (“bleeding”), yaitu pe-nusukan leher ke arah jantung dengan menggunakan pisau khusus.  Pengeluaran darah merupakan faktor penting karena darah merupakan media yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroorganisma dan hal ini mempengaruhi mutu karkas( Natasasmita, 1987).  Selain itu menurut Swatland (1984) serta Williamson dan Payne (1993), proses pengeluaran darah yang sempurna sangat penting guna menghasilkan daging dan kulit yang mempunyai mutu penyimpanan baik, karena pengeluaran darah yang tidak sempurna selama proses penyembelihan akan menyebabkan lebih banyak residu darah yang tertinggal di dalam karkas, sehingga daging yang dihasilkan berwarna lebih gelap dan lemak daging dapat tercemar oleh darah.
Agar pengeluaran darah dapat berlangsung sempurna maka sapi yang telah mengalami penyembelihan di gantung pada gantungan atau “conveyor”. Penggantungan  dilakukan dengan jalan pengikatan bagian atas tumit salah satu kaki belakang dengan tali tambang yang telah dihubungkan dengan penggantung di “conveyor”, sehingga sapi tergantung dalam posisi terbalik dan diharapkan darah cepat mengalir keluar melalui pembuluh nadi dan vena yang telah terputus sewaktu penyembelihan.
Untuk mengetahui bahwa ternak sapi yang telah disembelih telah benar-benar mati, maka dapat dilakukan tiga macam uji coba, yaitu uji coba terhadap reflek mata, uji reflek kaki dan uji reflek ekor.  Uji coba reflek mata dilakukan terhadap pelupuk mata apakah masih bergerak atau tidak.  Uji coba reflek kaki dilakukan dengan memukul persendian kaki atau dengan memijit sela-sela kuku, bila masih terjadi gerakan atau konstraksi terkejut, maka ternak masih hidup.  Uji coba reflek ekor dilakukan dengan cara membengkokkan ekor, apabila sudah tidak ada gerakan berarti ternak sudah mati.

2.1.3.2.     Penyiapan Karkas (“Carcassing”)
Hasil pemotongan ternak ruminansia besar dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu bagian yang disebut karkas dan non karkas atau yang lazim disebut “offal” yang terdiri dari kulit, kepala, keempat kaki bagian bawah mulai dari tulang tarsus dan carpus, serta jeroan.
Selama proses penyiapan karkas, ternak yang telah dipotong digantung pada gantungan karkas (hook).  Penggantungan biasanya dilakukan pada bagian “tendo archiles”, yaitu pada sela-sela tulang pada kedua paha belakang.  Menurut Natasasmita (1987) Penggantungan pada bagian ini akan menyebabkan daging menjadi lebih empuk pada bagian has dalam (“fillet” atau “tender-loin”).
Menurut Swatland (1984), secara umum proses pe-nyiapan karkas meliputi kegiatan sebagai berikut :
2.1.3.2.1.   Pemisahan Kepala dan Keempat Kaki
Pemisahan bagian kepala dari tubuh ternak dilakukan pada bagian bekas pemotongan atau penyembelihan, dan yang terbaik dilakukan pada bagian sambungan antara tulang leher dengan tulang kepala (tulang atlas), sehingga bagian leher tidak banyak terbuang dari karkas (Undang, 1995).
Pemotongan keempat kaki ternak yang telah disembelih dilakukan pada bagian persendian tulang kanon, yaitu sambungan tulang lutut (tibia dan fibula) di daerah benjolan “tarsus” untuk kaki belakang dan pada sambungan tulang siku (radius dan ulna) di daerah benjolan tulang “carpus” untuk kaki depan.
Pada pemotongan kedua kaki belakang disertai pula dengan sedikit pengulitan sebatas tumit kaki belakang, begitu pula pada pemotongan kedua kaki depan disertai dengan pengulitan pada bagian tumit kaki depan, terus menyusur paha dan diteruskan ke bagian dada.

2.1.3.2.2.   Proses Pengulitan
Proses pengulitan atau yang lazim disebut “skinning”, diawali dengan cara membuat irisan panjang pada kulit sepanjang permukaan dalam (medial kaki).  Kulit dipisahkan mulai dari ventral kearah punggung tubuh.
Berdasarkan cara pelaksanaannya dikenal tiga macam cara pengulitan, yaitu pengulitan di lantai, pengulitan dengan di gantung, dan pengulitan dengan menggunakan mesin.  Setiap cara pengulitan mempunyai kebaikan dan keburukan.  Kebaikan pelaksanaan pengulitan di lantai, yaitu biaya peralatan rendah dan pengulitan dapat di-lakukan secara masal (padat karya).  Keburukannya, yaitu kulit dan karkas menjadi kotor bila tercemar darah dan kotoran, serta pelaksanaan pengulitan lebih sukar, sehingga banyak terjadi cacat, baik pada kulit maupun karkas.
Kebaikan cara pengulitan dengan digantung, yaitu kulit dan karkas tidak kotor, dan cacat yang terjadi tidak terlalu banyak.  Keburukan cara pengulitan dengan digantung adalah memerlukan alat penggantung khusus dan biasanya hanya dikerjakan oleh dua orang.
Kebaikan cara pengulitan dengan menggunakan mesin, yaitu kulit dan karkas tidak kotor atau tercemar, serta tidak banyak cacat.  Keburukannya adalah memerlukan biaya besar untuk mesin pengulit dan memerlukan tenaga ahli khusus.
Kulit yang dihasilkan harus bagus, karena industri penyamakan kulit memerlukan kulit berbentuk empat persegi.  Oleh karena itu untuk memperoleh hasil terbaik pada hewan besar seperti ternak sapi, menurut Williamson dan Payne (1993) pengirisan dasar harus dibuat sebagai berikut :
a.  satu irisan panjang, lurus ke bawah di tengah-tengah, dari dagu sampai ke dubur (pemotongan hanya mendekati ambing atau kantung buah pelir tidak dianjurkan karena berpengaruh terhadap bentuk kulit; dua kulit penutup yang tidak penting dibiarkan yang harus dipotong sedikit sehingga mempengaruhi bentuk dan ukuran kulit);
b.    dua irisan melingkar pada kaki-kaki depan mengelilingi lutut;
c.    dua irisan yang sama mengelilingi tumit pada kaki-kaki belakang;
d.  dua sayatan lurus di sebelah sisi dalam kaki-kaki depan mulai dari lutut ke ujung depan tulang dada; dan
e.   dua sayatan lurus pada kaki-kaki belakang mulai dari belakang tiap sendi tumit ke suatu titik di pertengahan jalan antara dubur dan kantong buah pelir atau ambing.

2.1.3.2.3.   Pembelahan Dada dan Pengeluaran Jeroan
Sebelum melakukan pembelahan dada dan pengeluaran jeroan, terlebih dahulu dilakukan pembedahan lubang anus, dan pada bagian ujung saluran pencernaan kemudian ditutup dengan kantung plastik atau diikat dengan tali rafia.  Perlakuan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kontaminasi antara kotoran sapi yang berada dalam saluran pencernaan dengan bagian lainnya selama proses penyiapan karkas atau “Carcassing”.
Pembukaan perut atau rongga abdomen,  dilakukan dengan membuat irisan dari atas ke bawah sepanjang bagian ventral tengah, kemudian lakukan pemisahan penis dan testikel pada ternak sapi jantan atau jaringan ambing pada ternak sapi betina, serta lemak ruang abdominal yang sudah lepas.  Belah bonggol pelvik dan pisahkan kedua bagian tulang pelvik.  Lakukan pengulitan pada ekor bila belum dilakukan. Setelah dinding perut terbuka, kemudian dilakukan pengeluaran jeroan, yaitu kantung kencing dan uterus bila ada, usus, lemak susu, rumen dan bagian lain dari lambung, limpa, hati, dan ginjal yang diselaputi lemak ginjal.
Bersamaan dengan pengeluaran jeroan dilakukan pula pemotongan ekor atau “Oxtail”.  Pemotongan ekor biasanya dilakukan pada bagian tulang pangkal ekor (“cocygeal vertebrae”).  Akan tetapi, pemotongan ekor sapi di Indonesia umumnya dilakukan sampai pada tulang ekor yang ketiga masih termasuk ke dalam karkas.
Pembukaan rongga dada dilakukan dengan menggunakan gergaji, tepat melalui ventral tengah tulang dada atau “sternum”.  Setelah memotong diafragma, pisahkan bagian “pluck”, yaitu jantung, paru-paru dan trakhea.

2.1.3.2.4.   Pembelahan Karkas
Pembelahan karkas atau yang lazim disebut “halving”, adalah membelah karkas menjadi dua bagian yaitu karkas bagian tubuh sebelah kanan dan karkas bagian tubuh sebelah kiri.  Pembelahan dilakukan dengan menggunakan gergaji pembelah karkas, dengan cara pemotongan memanjang tepat melalui garis tengah tulang belakang (“vertebrae”).  Karkas bagian tubuh sebelah kiri selalu merupakan bagian yang kencang (“tigh side”), sebab lemak ginjal melekat rapat pada ginjal dan tulang belakang, dan karkas bagian tubuh sebelah kanan merupakan bagian karkas yang longgar (“loose side”).
Selanjutnya karkas yang telah dibelah dibersihkan dengan cara disemprot air bersih yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang masih menempel pada karkas, seperti darah, serbuk tulang dan kotoran lainnya.  Kemudian dilakukan penimbangan untuk memperoleh berat karkas segar.  Karkas yang sudah bersih dapat dibungkus dengan kain putih untuk merapikan lemak subkutan.

2.1.3.2.5.   Pendinginan
Paruhan karkas yang masih hangat dan telah di-bersihkan selanjutnya dibawa ke ruang pendinginan (“chilling room”).  Pendinginan dimaksudkan untuk mengurangi penyusutan karena evaporasi, mengurangi “drip loss” (kehilangan cairan yang terbentuk akibat keluarnya air dari jaringan daging yang mengandung protein, lemak dan zat gizi lain yang terdapat dalam daging) dan mencegah kontaminasi bakteri.
Menurut Soeparno (1994) lamanya pendinginan kira-kira 24 jam sebelum pemotongan tulang rusuk atau pemotongan paruhan karkas (“half carcass”) menjadi perempat bagian karkas (“quarter carcass”). Temperatur ruang pendinginan berkisar antara -40C sampai dengan 10C, tapi menurut Blakely dan Bade (1993) temperatur ruang pendinginan harus tetap pada 20C.
Karkas atau daging baru dapat dikeluarkan atau dipasarkan apabila telah diperiksa oleh dokter hewan atau petugas yang berwenang, dimana karkas yang sehat akan diberi stempel atau dicap sebagai tanda layak dan aman untuk dikonsumsi.

2.1.3.2.6.   Pelayuan.
Pelayuan adalah penanganan karkas atau daging segar “postmortem” yang secara relatif belum meng-alami kerusakan mikrobial dengan cara penggantungan atau penyimpanan selama waktu tertentu pada temperatur tertentu di atas titik beku karkas atau daging lebih  kurang -1,50C.  Istilah pelayuan sering disebut “aging” atau “conditioning”, kadang-kadang disebut “hanging”.  Selama pelayuan terjadi peningkatan keempukan dan flavour daging, karena adanya aktivitas enzim yang memecah jaringan pengikat (kolagen) yang mengelilingi sel.  Pelayuan yang lebih lama atau lebih dari 24 jam sejak terjadinya kekakuan daging atau “rigormortis” dapat disebut pematangan.  Pelayuan biasa dilakukan pada temperatur 32 - 380F (0 - 30c), setelah pendinginan selama kira-kira 24 jam.  Pengaruh pengempukan dari pelayuan daging menurut Bratzler (1977) dan Lawrie (1979) merupakan fungsi dari waktu dan temperatur, dimana pada umumnya, pelayuan pada temperatur yang lebih tinggi akan menghasilkan derajat  keempukan tertentu dalam waktu yang lebih cepat daripada temperatur yang lebih rendah.  Misalnya pe-layuan selama dua hari pada temperatur 200C menghasilkan tingkat keempukan yang sama dengan pelayuan selama 14 hari pada temperatur 00C.
Karkas dari ternak ruminansia besar, seperti sapi memerlukan proses pelayuan, sedangkan ternak ruminansia kecil (domba dan kambing) bisa tidak dilayukan, karena dagingnya secara relatif sudah empuk bila ternak dipotong pada umur yang relatif muda, dan proses kekakuan berlangsung dalam waktu yang relatif cepat.
Proses pelayuan atau pematangan karkas sapi prima bisa dilakukan selama periode waktu antara 15 - 40 hari, karena adanya lapisan lemak yang tebal yang menutupi dan melindungi karkas dari kontaminasi mikrobia.  Karkas yang tidak cukup mengandung lemak eksternal ( termasuk karkas veal) tidak dapat dilayukan dalam waktu yang lama, karena lebih mudah diserang mikroorganisme.  Hal ini sejalan dengan pendapat Ensminger (1991), yang menyatakan bahwa karkas yang berasal dari sapi-sapi yang mempunyai grade yang lebih baik, akan lebih tahan disimpan dalam ruang pelayuan dibandingkan dengan grade yang lebih rendah.  Semakin lama karkas disimpan dalam ruang pelayuan maka penyusutan karkas akan semakin besar pula.

2.1.3.2.7.   Pemeriksaan Daging
Pemeriksaan daging dari hasil pemotongan dimaksudkan untuk :
a.  melindungi konsumen dari penyakit yang dapat ditimbulkan karena makan daging yang tidak sehat,
b.    melindungi konsumen dari pemalsuan daging, dan
c.    mencegah penularan penyakit diantara ternak.

Pemeriksaan daging meliputi  pemeriksaan sebelum ternak dipotomg, lazim disebut pemeriksaan “antemortem” dan pemeriksaan setelah pemotongan atau yang lazim disebut pemeriksaan “postmortem”, yaitu pemeriksaan karkas dan alat-alat dalam (“viscera”), serta produk akhir.
Maksud pemeriksaan “antemortem” dapat dilihat pada penjelasan perlaku-an ternak sebelum pemotongan, sedangkan maksud pemeriksaan “postmortem” adalah untuk mengetahui kondisi karkas yang dihasilkan dari pemotongan, layak dikonsumsi atau tidak.
Pemeriksaan “postmortem” yang biasa dilakukan di Indonesia menurut Soeparno (1994), antara lain adalah pemeriksaan karkas, pertama pada kelenjar limfe, pemeriksaan kepala pada bagian mulut, lidah, bibir, dan otot maseter, dan pemeriksaan paru-paru, jantung, ginjal, hati serta limpa.  Jika terdapat kondisi abnormal lain pada karkas, organ-organ internal atau bagian-bagian karkas lainnya, maka dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.  Keputusan hasil pemeriksaan akan menentukan apakah karkas dan bagian-bagian karkas dapat dikonsumsi, diproses lebih lanjut atau tidak.


  3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1.            Hasil Pemotongan Ternak Sapi
3.1.1.      Karkas dan Non Karkas
Pemotongan ternak sapi menghasilkan bagian karkas dan bagian non karkas atau sisa karkas.  Karkas merupakan hasil utama pemotongan ternak dan mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi daripada non karkas, sesuai dengan tujuan pemotongan adalah untuk memproduksi daging.  Menurut Ensminger (1991), yang dimaksud dengan karkas sapi adalah bagian tubuh ternak sapi hasil pemotongan setelah dipisahkan dari kepala, keempat kaki bagian bawah mulai dari carpus dan tarsus, kulit, darah, saluran pencernaan, saluran urine, jantung, paru-paru, limpa, hati, tenggorokan dan jaringan-jaringan lemak yang melekat pada bagian tubuh, sedang-kan organ ginjal sering dimasukkan sebagai karkas.
Berg dan Butterfield (1976), menyatakan bahwa komponen karkas terdiri dari jaringan tulang, daging dan lemak.  Tulang sebagai komponen yang tumbuh dan berkembang paling dini, kemudian disusul oleh daging dan lemak.  Proporsi komponen-komponen karkas tersebut dipengaruhi oleh faktor bangsa (genetik), umur, ransum dan penyakit (Tulloh, 1978).
Hasil karkas umumnya dinyatakan oleh persentase karkas atau “dressing percentage”, yaitu hasil bagi berat karkas dengan bobot hidup waktu disembelih dikalikan 100 persen (Cole, 1982). 
Menurut Natasasmita (1978), untuk memperoleh ketepatan data dalam penelitian, persentase karkas dibedakan menjadi dua macam, yaitu persentase karkas semu dan persentase karkas sebenarnya.  Persentase karkas semu adalah berat karkas dibagi bobot hidup dikalikan 100 persen, sedangkan persentase karkas sebenarnya adalah berat karkas dibagi bobot hidup kosong (BTK) dikalikan 100 persen.  Bobot hidup kosong (BTK) dapat diketahui dari hasil penimbangan ternak yang akan dipotong setelah mengalami perlakuan pe-muasaan, karena bobot hisup kosong adalah bobot tubuh setelah dikurangi isi saluran pencernaan, isi kantong kencing dan isi saluran empedu.  Persentase karkas semu lebih rendah dibandingkan persentase karkas sebenarnya.  Sementara ini persentase karkas yang sering dikemukakan secara umum adalah persentase karkas semu.
Persentase karkas dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kualitas ransum, transportasi sebelum pemotongan ke rumah potong, penimbangan terhadap karkas segar dan karkas layu serta proporsi dari bagian sisa karkas (Berg dan Butterfiled, 1976).  Persentase karkas sapi daging kebiri yang berasal dari pameran dapat mencapai 63% dan sapi kurus baik jantan maupun betina adalah 40% -50% (Anderson, 1952 dikutip oleh Usri, 1990).  Selanjutnya Allen dan kilkenny (1984) menyatakan bahwa, kisaran normal persentase karkas sapi adalah 50 - 60%, hal ini sesuai dengan pendapat Gerrard (1977), yang menyatakan bahwa rata-rata persentase karkas sapi adalah 56% dari bobot tubuh sapi tersebut, dan dari persentase karkas yang dihasilkan tersebut terdiri dari 37,5% komponen daging dan sisanya sebanyak 18,5% merupakan komponen tulang dan lemak.
Pemotongan ternak sapi selain menghasilkan karkas, juga menghasilkan non karkas atau bagian sisa karkas, yang juga lazim disebut “offal”.  Bagian sisa kerkas terdiri dari, kepala, kaempat kaki bagian bawah, darah, jeroan dan kulit (Tulloh, 1978).
Menurut Whytes dan Ramsay (1979), komponen sisa karkas terdiri dari organ internal dan organ eksternal.  Organ internal terdiri atas hati, jantung, paru-paru, limpa, perut, usus, pankreas, oesophagus dan kantong kemih, sedangkan yang termasuk organ eksternal adalah kepala, kulit, kaki, ekor, darah, penis dan scrotum.
Pendapat lain menyatakan bahwa, sisa karkas dibagi menjadi dua bagian, yaitu “edible offal” dan “inedible offal” (Gerrard, 1977). “Edible offal” adalah bagian sisa karkas yang masih layak dimakan, seperti kepala, hati, jantung, paru-paru, ginjal, limpa, perut, ekor dan darah. Sedangkan “inedible offal” adalah bagian sisa karkas yang tidak layak dimakan, misalnya tanduk, bulu, saluran kantong kemih, kulit, tulang. Oesophagus.
Komponen sisa karkas ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut :
1.                  Bangsa Ternak
Pengaruh bangsa berhubungan dengan perbedaan genetik tiap bangsa dalam mencapai ukuran dewasa, dari tiap bangsa terdapat perbedaan kecepatan pertumbuhan dari komponen tubuh.  Akibat perbedaan tersebut akan meningkat-kan keragaman proporsi tubuh pada berat yang sama (Berg dan Butterfiled, 1976).
2.                  Jenis Kelamin
Sapi jantan mempunyai berat kepala dan berat kaki lebih ringan daripada sapi jantan yang dikastrasi (kebiri) (Prescott dan Laming, 1964).
3.                  Ransum
Peningkatan kandungan konsentrat pada ransum akan menurunkan isi perut dan meningkatkan persentase karkas. Apabila pemberian serat kasar tinggi akan meningkatkan isi perut dan menurunkan persentase karkas (Whytes dan Ramsay, 1979).
4.                  Umur
Persentase berat rumen, retikulum dan omasum akan meningkat dengan bertambahnya umur (Walker dan Walker, 1961).

3.1.2.      Potongan Karkas Komersial
Paruhan karkas (“half carcass”) sapi sebelah kiri maupun kanan setelah pemeriksaan biasanya dibagi lagi menjadi bagian seperempat bagian (“quarter carcass”), yaitu karkas bagian perempat depan (“forequarter”) dan karkas bagian perempat belakang (“hindquarter”) (Undang, 1995).
Menurut Gerrard (1977) dan Undang (1995), untuk membagi paruhan karkas menjadi bagian perempat depan dan perempat belakang, terdapat beberapa perbedaan tempat pembagian pada berbagai negara.  Di Amerika Serikat, pembagian dilakukan antara tulang rusuk ke-12 dan ke-13.   Di beberapa negara Eropa, pembagian perempatan bagian karkas dilakukan antara tulang rusuk ke-8 dan ke-9.  Di Australia, pembagian dilakukan antara tulang rusuk ke-10 dan ke-11, sedangkan di Indonesia bervariasi, misalnya di rumah potong Cakung pembagian dilakukan antara tulang rusuk ke-5 dan ke-6, akan tetapi pada rumah potong hewan swasta umumnya melakukan pembagian perempatan bagian karkas didasarkan pada standar yang ditentukan  dari USDA (“United States Departement of Agriculture”).
Lokasi daging yang berkualitas prima menurut Undang (1995), pada bagian karkas tersebut tergabung dalam bagian-bagian recahan paha, pinggul, bokong, dan iga utama, yaitu pada recahan nomor 4, 5, 6, 7, dan 8.  Karena gabungan recahan karkas prima tersebut bentuknya mirip pistol maka gabungan tersebut di Amerika Latin disebut “pistola”, di Skotlandia disebut “gun”, sedangkan di Perancis disebut “pan traite”.
Karkas perempatan bagian tersebut, kemudian dipotong-potong lagi menjadi potongan-potongan besar atau recahan karkas utama (“wholesale cuts”) yang dapat dipotong-potong lagi menjadi potongan-potongan eceran atau recahan karkas kecil (“retail cuts”).
Recahan karkas kecil diperoleh dari hasil perecahan karkas utama melalui proses “boning”, yaitu pemisahan antara tulang dan daging serta pemotongan daging menjadi potongan-potongan daging atau “items”.  Recahan-recahan karkas kecil inilah yang biasanya diperjual belikan di toko-toko dan super market dalam satuan berat tertentu (1 kg, ½  kg, dan sebagainya), serta dalam bentuk dan ukuran tertentu pula.

3.1.3.      Hasil Sampingan Pemotongan Sapi
Karkas atau daging merupakan hasil utama dari suatu pemotongan ternak sapi, dan mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi daripada non karkas.  Bagian non karkas atau yang lazim disebut “offal”, terdiri dari bagian-bagian yang layak dimakan (“edible offal”) dan bagian-bagian yang tidak layak dimakan (“inedible offal”).
Bagian non karkas yang layak dimakan banyak macamnya, seperti bagian-bagian jeroan ternak.  Di Indonesia jeroan banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan.  Jeroan mengandung gizi cukup tinggi dan harganya lebih murah daripada daging.  Rincian pemanfaatan bagian non karkas yang layak dimakan dapat dilihat pada Tabel 3.1. 
Komponen-komponen non karkas yang tidak layak di-makan dapat diproses dan dimanfaatkan menjadi produk-produk yang bernilai ekonomi cukup tinggi.  Menurut Balkely dan Bade (1992), lebih dari 100 macam hasil sampingan penyembelihan sapi diproses dan dipasarkan, mulai dari kulit sampai lem, obat-obatan sampai lilin, sabun sampai sikat dan masih banyak lagi.
Hasil pengolahan komponen non karkas yang tidak layak dikonsumsi manusia, antara lain adalah tepung tulang, tepung darah, dan bermacam-macam hasil olahan yang berasal dari kulit, tanduk dan kuku.

Tabel 3.1  Pemanfaatan Bagian Non Karkas Ternak Sapi yang Layak Dimakan.
______________________________________________________________

Komponen Non Karkas                                                Manfaat
______________________________________________________________

Otak, Jantung, ginjal, hati,
paru-paru, limpa, pankreas                                          Aneka ragam daging
dan lidah.          
Ekor                                                                            Sup
Pipi dan tetelan kepala                                                 Bahan sosis
Ekstrak daging                                                             Sup
Lambung - pedet                                                          Renet untuk pembuatan keju.
                - sapi                                                           Bahan sosis, Aneka
                                                                                    ragam daging

Tulang                                                                         Es krim dan agar-agar.

Lemak                                                                         Bahan peremah kue,
                                                                                    kembang gula, bahan
                                                                                    pakan kalori tinggi.

Usus kecil dan besar                                                   Selongsong sosis dan
                                                                                    Aneka ragam daging.
__________________________________________________________________
Sumber : Forrest et al. (1975).

Kulit adalah hasil sampingan terpenting dari penyembelihan sapi.  Sepatu, ikat pinggang, dompet, perkakas rumah, pakaian, alat-alat atletik, wayang kulit, hiasan dinding, tas, lem, bahkan alat musik seperti drum dapat dibuat dari kulit sapi.  Umumnya kulit direndam dalam larutan garam dan dilakukan “curing” paling sedikit selama 24 jam sebelum disamak.  Kebanyakan penyamak sudah biasa melakukannya membeli kulit dari rumah potong.  Kulit yang berat direndam untuk beberapa minggu dalam larutan penyamak yang dibuat dari kulit pohon untuk mendapatkan kekenyalan maksimum, sedangkan garam chrom digunakan untuk kulit yang lebih ringan.
Lemak yang tidak termakan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan dalam pembuatan sabun, bahan kimia, plastik, minyak pelumas, zat anti beku, cat, dan bahan pakan yang mengandung kalori tinggi untuk ayam broiler.
Ekstrak dari kulit dan tulang, terutama dari jaringan pengikat yang disebut kolagen, digunakan untuk membuat lem dan perekat lainnya.
Sisa-sisa rambut dari kulit digunakan untuk mem-buat sikat, bahan pengisi lapisan topi, bahan pengisi bantal, permadani, bahan penyekat dan lain-lain.
Tanduk dan kuku atau teracak digunakan dalam pembuatan zat gizi untuk tanaman dan pupuk, sisir, kancing, ornamen dan dadu.  Setelah dihaluskan dan dibakar dapat dihasilkan suatu produk yang dapat digunakan dalam pemurnian atau penyulingan gula.  Selain itu menurut Blakely dan Bade (1992), masih banyak lagi hasil atau produk sampingan, lebih dari 35 macam obat-obatan dan bahan farmasi dapat diekstraksi dari organ dan kelenjar yang diambil dari ternak sapi.  Satu contoh adalah insulin yang diambil dari organ pankreas sebagai obat untuk penyakit diabetes.
Menurut Soeparno (1994), di beberapa negara termasuk Indonesia, kotoran ternak telah dimanfaatkan sebagai sumber bahan-bahan yang penting, misalnya gas bio, dan sebagai pupuk.



4. PENUTUP

4.1.            Kesimpulan
Berdasarkan uraian dimuka, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.    Ternak ruminansia besar seperti sapi dan kerbau merupakan salah satu sumber daging yang dapat dikonsumsi manusia.
2.     Tempat pemotongan ternak berdasarkan manajemen dan fasilitas yang digunakan dibedakan menjadi tiga, yaitu tempat pemotongan tradisional, rumah potong hewan umum dan rumah potong pabrik.
3.        Tahapan pemotongan ternak ruminansia besar dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu tahapan penyembelihan dan tahapan penyiapan karkas.
4.        Hasil pemotongan ternak ruminansia menghasilkan karkas dan non karkas.
5.   Untuk memudahkan transportasi dan pemasaran, karkas dipotong menjadi recahan karkas utama atau “Whole-sale cuts” yang dapat dipotong-potong lagi menjadi recahan karkas kecil atau “retail cuts”.



DAFTAR PUSTAKA

1.      Allen, D. dan B. Kilkenny.  1984.  Planned beef production.  Granada
               Publishing : Toronto, London, New York.

2.  Berg, R.T. dan R.M. Butterfield.  1976.  New concepts of cattle growth.  
               Sydney University Press : Sydney.

3.  Blakely, J. dan D.H. Bade.  1992.  Ilmu peternakan diterjemahkan oleh
               Bambang Srigandono.  Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.

4.  Bratzler, L.J., Gaddis, A.M. dan Sulzbacher.  1977.  Fundamentals of food
               freezing.  The AVI Publishing Company Inc. : Westport, Connecticut.

 5.  Cole, H.H.  1982.  Introduction to livestock Production.  W.H. Freeman &  
               Company : London.

6. Ensminger, M.E.  1991.  Animal science.  9th Ed. The Interstate Printers and   
                Publishers Inc., Denville, Illinois.

 7.  Forrest, J.C., E.D. Aberle, H.B. Hendrick,  M.D. Judge, and R.A. Markel. 
                1975.   Principle of meat science.  W.H. Freeman and Company :
                San Fransisco.

 8.  Gerrard, F.  1977.  Meat technology.  5th Ed.
          Northwood Publication Ltd. : London.

 9.  Lawrie, R.A.  1979.  Meat science.  3rd Edition.  Pergamon Press.

10.  Natasasmita, s.  1987.  Evaluasi Daging.  Fakultas Peternakan, Institut
                  Pertanian Bogor : Bogor.

11.    Prescot, J.H., and G.E. Lamming.  1964.  The Effect of castration in meat 
production in cattle, sheep and pigs.  J. Agr. Sci.Vol. 63.

12.  Soeparno.  1994.  Ilmu dan teknologi daging.  Gadjah Mada University Press
                  Yogyakarta.

13.   Swatland, H.J.  1984.  Structure and development of meat animals.  Prentice-
Hall Inc.   Englewood Cliffs, New Jersey.

14.  Tulloh, N.M.  1978.  Growth, development, body,
                 composition, breeding and management.  A Course Manual in Beef
                Cattle Management and Economics.  Academy Press Pty., Ltd.,
                Brisbane.

15.  Undang, S.  1995.  Tatalaksana pemeliharaan ternak sapi.  Penebar Swadaya   
                 Jakarta.

16.    Usri, N.  1990.  Dampak bobot badan awal terhadap penampilan produksi
                 hasil penggemukan pedet Holstein Friesian jantan.  Laporan Peneliti-
                 an.  Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran : Bandung.

17.    Walker, D.M. and G.J. Walker.  1961.  The development of digestive of rumen
                 function in young lamb.  J. Agr. Sci. Vol. 57.

18.    Whytes, J.R. and W.R. Ramsay.  1979.  Beef carcass composition and meat
                 quality.  first Edition Queensland Departement of Primary Industries
                 Brisbane.

19.    Williamson, G. and W.J.A. Payne.  1993.  Pengantar peternakan di daerah
                 tropis, diterjemahkan oleh Djiwa Darmadja.  Gadjah Mada University
                 Press : Yogyakarta.

responsif