1. PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang
Peternakan adalah salah satu bidang
pertanian yang menghasilkan komoditas daging, susu, telur dan hasil-hasil
olahannya serta hasil sisa produksi. Daging sebagai salah satu bahan
makanan yang hampir sempurna, karena mengandung gizi yang
lengkap dan dibutuhkan oleh tubuh, yaitu protein hewani, energi, air, mineral dan vitamin. Disamping itu, daging memiliki rasa dan aroma yang enak, sehingga disukai oleh hampir semua orang.
lengkap dan dibutuhkan oleh tubuh, yaitu protein hewani, energi, air, mineral dan vitamin. Disamping itu, daging memiliki rasa dan aroma yang enak, sehingga disukai oleh hampir semua orang.
Daging yang umum dikonsumsi berasal
dari hasil pemotongan berbagai jenis ternak potong, antara lain ternak
ruminansia besar seperti sapi dan kerbau, ternak ruminansia kecil seperti
domba, kambing, babi, dan kelinci serta berbagai jenis ternak unggas seperti
ayam, itik, kalkun, dan lain-lain.
Secara umum mekanisme urutan
pemotongan ternak ruminansia besar seperti sapi dan kerbau di Indonesia terdiri
dari beberapa tahapan, mulai dari tahap pengistirahatan dan pemeriksaan sebelum
pemotongan, tahap proses penyembelihan, dan tahap penyiapan karkas.
Hasil pemotongan ternak dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu bagian karkas dan bagian bukan karkas atau lazim
disebut bagian non karkas. Karkas merupakan hasil utama pemotongan
ternak dan mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi daripada non karkas, sesuai
dengan tujuan pemotongan ternak, yaitu untuk mendapatkan
daging. Bagian non karkas atau yang lazim disebut “offal” terdiri
dari bagian yang layak dimakan (“edible offal”) dan bagian yang tidak layak
dimakan (“inedible offal”).
Ternak ruminansia besar seperti sapi
dan kerbau menghasilkan karkas yang besar dan berat, sehingga untuk
mentransportasikan ke pusat-pusat pemasaran atau ke tempat-tempat prosesing
dalam keadaan utuh adalah tidak praktis. Oleh karena itu sebelum
pemasaran atau prosesing lebih lanjut, karkas sapi atau kerbau dibelah menjadi
dua bagian dan masing-masing belahan karkas di potong lagi menjadi bagian
perempat depan atau “fore quarter” dan bagian perempat belakang atau “hind
quarter”. Untuk pemasaran selanjutnya, seperti pen-jualan secara
eceran atau “retail cuts”, untuk ke-perluan restoran, hotel atau instansi dan
lembaga-lembaga tertentu, karkas sapi atau kerbau dipotong-potong lagi menjadi
recahan karkas utama atau potongan “primal cut”, juga lazim disebut “wholesale
cuts”, dan recahan karkas kecil atau potongan “sub primal”, juga
lazim disebut“retail cuts”.
Daging yang dihasilkan dari tempat
pemotongan hewan, baik tempat pemotongan sederhana sampai rumah potong hewan
pabrik sebelum dipasarkan terlebih dahulu harus diperiksa untuk mencegah
hal-hal yang dapat merugikan konsumen dan mencegah penularan penyakit diantara
ternak, maka dilakukan pemeriksaan.
Pemeriksaan terhadap karkas atau
daging, dilakukan dalam dua tahap pemeriksaan, yaitu pemeriksaan sebelum ternak
dipotong (“antemortem”) dan pemeriksaan setelah pemotongan
(“postmortem”). Pemeriksaan “ante-mortem” adalah pemeriksaan yang
dilakukan terhadap hewan ternak sebelum dipotong, sedangkan pemeriksaan
“postmoertem” adalah pemeriksaan terhadap bagian karkas, alat-alat
dalam (“viscera”) dan produk akhir dari ternak yang telah dipotong.
2. PEMBAHASAN
2.1.
TEKNIK PEMOTONGAN TERNAK RUMINANSIA BESAR
2.1.1.
Macam Tempat Pemotongan Hewan Ternak
Pelaksanaan pemotongan atau
penyembelihan hewan ternak ruminansia besar seperti ternak sapi dan kerbau,
dapat dilakukan oleh siapa dan dimana saja, tetapi harus memenuhi beberapa
pesyaratan tertentu, dan menggunakan fasilitas atau peralatan khusus sehingga
karkas atau daging yang dihasilkan layak dan aman dikonsumsi oleh manusia.
Berdasarkan tipe fasilitas yang
digunakan dalam pelaksanaan pemotongan ternak, tempat pemotongan ternak
dibedakan menjadi tiga macam, yaitu tempat pemotongan terbuka di pedesaan,
rumah potong hewan (RPH) umum dan rumah potong pabrik (Williamson dan Payne,
1993).
Tempat pemotongan hewan terbuka yang
sederhana umumnya terdapat di daerah pedesaan yang belum maju dan fasilitas
yang dipergunakan masih relatif sederhana berupa penggantung-penggantung
berkerek sederhana yang terbuat dari bahan kayu atau pipa baja dan pelaksanaan
pemotongan masih dilakukan oleh jagal-jagal secara perseorangan di lapangan
terbuka, semak-semak atau halaman belakang rumah. Sedangkan rumah
potong hewan umum (RPH) dan rumah potong pabrik, sudah menggunakan fasilitas
dan peralatan modern dan mempunyai beberapa ruangan khusus untuk pelaksanaan
pemotongan ternak, pendinginan dan penyimpanan karkas. Perbedaan
antara rumah potong hewan umum dan rumah potong pabrik hanya terletak pada
sistem manajemen kerja, dimana rumah potong hewan (RPH) umum hanya beroperasi
melayani kebutuhan konsumen, dalam hal ini adalah hanya melayani para pedagang
daging untuk melakukan pemotongan hewan ternak saja, sedangkan rumah potong
pabrik merupakan salah satu bagian atau unit kerja dari suatu perusahaan yang
bergerak mulai dari pemeliharaan dan pembelian ternak, operasi pemotongan,
penyimpanan, pengolahan daging, penggunaan hasil-hasil sampingan sampai
pen-jualan hasil pemotongan kepada para jagal atau langsung kepada konsumen.
2.1.2. Syarat-syarat
Pemotongan ternak.
Sebelum melakukan pemotongan atau
penyembelihan pada hewan ternak, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi,
antara lain :
1. Ternak yang akan dipotong harus dalam kondisi sehat,
berdasarkan hasil pemeriksaan dokter hewan atau mantri hewan yang
berwenang. Yang dimaksud dengan ternak sehat, yaitu ternak tersebut
tidak menderita sakit, baik oleh penyakit yang menular maupun penyakit yang
tidak menular. Ternak yang sakit tersebut dapat disembelih dengan
beberapa syarat sebagai berikut :
a. pada
penyakit mulut dan kuku (“Apthae epizootica”), setelah ternak
disembelih, maka bagian organ dalam, kepala bagian mulut, lidah dan kaki harus
direbus sebelum diedarkan atau diperdagangkan.
b. pada
penyakit surra ternak harus dipotong pada waktu malam hari, karena penyakit
tersebut dapat ditularkan oleh lalat, dan,
c. pada
penyakit anthraks, setelah ternak disembelih, harus secepatnya dimusnahkan
dengan cara dibakar atau dikubur yang dalam pada lokasi yang jauh dari
pemukiman maupun tempat pe-meliharaan ternak.
2. Ternak harus tidak dalam keadaan lelah atau habis
dipekerjakan, hal ini berhubungan dengan penampilan karkas yang akan
dihasilkan.
3. Ternak yang akan disembelih harus sudah tidak
produktif lagi atau tidak dipergunakan sebagai bibit. Yang dimaksud
dengan ternak yang sudah tidak produktif, yaitu ternak betina yang sudah tidak
dapat menghasilkan anak (tua) dan ternak betina yang tidak dapat bunting
(manjir). Ternak yang tidak dipergunakan sebagai bibit, yaitu ternak
jantan yang tidak dipergunakan sebagai pejantan atau bibit.
4.
Ternak yang disembelih dalam keadaan darurat, yaitu :
a. ternak yang mengalami kecelakaan, misalnya patah kaki
atau cedera berat lainnya pada saat dipekerja-kan, sehingga dapat menyebabkan
kematian.
b. ternak yang luka parah, karena kecelakaan kendaraan,
tetapi masih hidup dan diperkirakan akan mati apabila tidak disembelih,
c. ternak yang menderita sakit atau hampir mati,
d. ternak yang disembelih untuk keperluan tertentu,
misalnya hajatan.
Pelaksanaan pemotongan ternak dalam
keadaan darurat tidak harus di rumah potong hewan, tetapi setelah disembelih
harus diperiksa oleh dokter hewan atau petugas Dinas Peternakan yang berwenang
untuk menentukan apakah hasil pemotongan aman bagi orang yang memakannya.
2.1.3. Mekanisme
Pemotongan Ternak Ruminansia Besar
Secara umum mekanisme urutan
pemotongan atau penyembelihan ternak ruminansia besar seperti sapi dan kerbau
di Indonesia, dibagi menjadi dua bagian, yaitu proses penyembelihan dan proses
penyiapan karkas. Proses penyembelihan meliputi proses perlakuan sebelum
pemotongan, teknik penyembelihan dan pengeluaran darah, sedangkan proses
penyiapan karkas meliputi beberapa kegiatan, antara lain pemisahan bagian
kepala dan kaki, pengulitan, pembelahan dada dan pengeluaran jeroan, pembelahan
karkas, dan pendinginan karkas. Sebelum karkas diproses lebih
lanjut, seperti pelayuan dan perecahan karkas menjadi potongan utama dan
potongan kecil dilakukan pemeriksaan terhadap karkas yang dihasilkan
(pemeriksaan “postmortem”).
2.1.3.1.
Proses Penyembelihan
2.1.3.1.1.
Perlakuan Sebelum Pemotongan
Perlakuan atau penanganan hewan
ternak sebelum dipotong akan mempengaruhi nilai karkas atau daging yang
dihasilkan. Untuk sampai ke tempat pemotongan ternak-ternak tersebut
mengalami perjalanan dari tempat asalnya, dan selama dalam perjalanan, sering
terjadi kerusakan atau cacat pada kulit dan mutu karkas. Selain itu
akibat perjalanan dapat menimbulkan cekaman (stres) pada ternak yang akan menyebabkan
terjadinya penyusutan pada bobot badan. Penyusutan bobot badan ini
berkisar 2 - 5 persen, besarnya persentase penurunan bobot badan ini
dipengaruhi oleh iklim, jarak antara asal ternak dengan rumah potong hewan
(RPH), cara transportasi, kondisi kesehatan dan daya tahan ternak (Natasasmita,
1987).
Salah satu syarat yang harus
diperhatikan dalam proses pemotongan ternak untuk memperoleh mutu karkas atau
daging yang baik, yaitu ternak yang akan dipotong harus tidak dalam keadaan
lelah atau habis dipekerjakan. Oleh karena itu ternak yang akan
dipotong harus diistirahatkan dalam tempat penampungan khusus (“Holding
Ground”). Dalam tempat penampungan harus dijaga agar ternak tidak
saling beradu, karena bila hal itu terjadi maka perlakuan istirahat tidak akan
bermanfaat, bahkan menurunkan kualitas pemotongan. Lamanya
pengistirahatan ternak yang akan dipotong bervariasi. Menurut
Gerrard (1977) ternak sapi yang akan dipotong sebaiknya diistirahatkan
selama 24 - 36 jam, Williamson and Payne (1993) 16 - 24 jam, dan
Soeparno (1994) 12 - 24 jam.
Maksud perlunya ternak
diistirahatkan sebelum dipotong adalah :
a.
agar ternak tidak mengalami cekaman (stres),
b.
agar pada saat disembelih darah dapat keluar sebanyak
mungkin, dan
c. agar cukup tersedia energi, sehingga proses kekakuan
karkas atau yang lazim disebut proses “rigormortis” berlangsung secara
sempurna.
Menurut Soeparno (1994) pada
dasarnya ada dua cara untuk mengistirahatkan ternak sebelum dipotong, yaitu
dengan dipuasakan dan tanpa dipuasakan. maksud pemuasaan yang
dilakukan pada ternak yang akan dipotong adalah :
a. untuk memperoleh bobot tubuh kosong (BTK), yaitu bobot
tubuh setelah dikurangi isi saluran pencernaan, isi kantung kencing dan isi
saluran empedu,
b.
untuk mempermudah proses penyembelihan, terutama
ternak yang agresif atau liar, karena dengan dipuasakan, ternak menjadi lebih
tenang,
c. untuk mengurangi pencemaran isi saluran pencernaan
terhadap karkas selama proses penyiapan karkas. Selama pengistirahatan
dengan pemuasaan, ternak tidak diberi makan apapun hanya diberi air minum
secukupnya untuk menghilangkan rasa haus.
Maksud pengistirahatan ternak
sebelum dipotong dengan cara tanpa dipuasakan adalah :
a. agar pada waktu disembelih, darah dapat keluar
sebanyak mungkin, karena ternak lebih kuat meronta, mengejang atau
berkontraksi. Pada kondisi ini, darah yang disemburkan keluar akan
lebih sempurna,
b.
agar ternak yang dipotong tidak mengalami cekaman
(stres).
Selama masa pengistirahatan
dilakukan pula pemeriksaan “antemortem” berupa inspeksi. Maksud
pemeriksaan “antemortem” adalah :
a.
untuk mengetahui ternak-ternak yang cedera, sehingga
harus dipotong sebelum ternak lainnya, dan
b.
untuk mengetahui ternak-ternak yang sakit dan harus
dipotong secara terpisah atau harus diperiksa secara khusus (Swatland, 1984).
Ternak yang sudah dinyatakan sehat
oleh dokter hewan atau petugas yang berwenang, diberi cap huruf S (“slaughter”
= potong) serta sudah diistirahatkan, kemudian di siram dengan air dingin
sebelum dibawa ke ruang pemotongan.
Maksud penyiraman dengan air dingin
adalah :
a.
agar ternak menjadi bersih sehingga kebersih-an karkas
lebih terjamin, dan
b. agar terjadi kontraksi perifer (faso kontraksi),
sehingga darah di bagian tepi tubuh menuju ke bagian tengah tubuh dan pada
waktu disembelih, darah dapat keluar sebanyak mungkin, serta memudahkan proses
pengulitan.
2.1.3.1.2. Pemingsanan
dan Penyembelihan
Menurut Soeparno (1994) pada
dasarnya ada dua cara atau teknik pemotongan atau penyembelihan ternak, yaitu
teknik pemotongan ternak secara langsung dan teknik pemotongan ternak secara
tidak langsung. Pemotongan ternak secara langsung, dilakukan setelah
ternak diperiksa dan dinyatakan sehat, maka ternak langsung dapat
disembelih. Pemotongan ternak secara tidak langsung ialah ternak
dipotong setelah dilakukan pemingsanan (“stunning”) dan ternak telah
benar-benar pingsan.
Maksud pemingsanan pada ternak yang
akan disembelih adalah :
a.
untuk memudahkan pelaksanaan penyembelihan ternak,
b.
agar ternak tidak tersiksa dan terhindar dari resiko
perlakuan kasar,
c.
agar kualitas kulit dan karkas yang dihasilkan lebih
baik, karena pada waktu menjatuhkan, ternak tidak banyak terbanting atau
terbentur benda keras, sehingga terjadinya cacat pada kulit atau memar pada
karkas dapat dihindarkan seminimal mungkin.
Pemingsanan (“Stunning”) ternak yang
akan dipotong dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :
a.
dengan alat pemingsan atau yang lazim disebut
“knocker”,
b.
dengan senjata pemingsan atau yang lazim disebut
“stunning Gun” atau “captive bolt”, yaitu suatu tongkat yang bekerja di dalam
suatu silinder yang diaktifkan oleh suatu muatan yang eksplosif yang menyerupai
selongsong kosong ditembakkan oleh suatu tekanan,
c.
dengan cara pembiusan mengguna-kan karbondioksida (CO2),
terutama untuk proses pe-motongan sapi muda (“calf” atau “veal”),
d.
dengan menggunakan arus listrik (stroom) pada bagian
bibir sapi (Ensminger, 1991; Blakely and Bade, 1992).
Bila pemingsanan ternak yang akan
dipotong dilakukan dengan menggunakan alat atau senjata pemingsan, maka alat
atau senjata yang telah diisi peluru diletakkan tepat pada titik tengah kening
tulang kepala sedikit di bagian atas antara kedua kelopak
mata. Piston martil diarahkan ke otak secara tepat dan pelatuk
ditarik sehingga peluru meledak menggerakkan piston martil berkecepatan tinggi
mengenai otak dan ternak menjadi pingsan. Pada pemingsanan dengan
menggunakan senjata pemingsan, selongsong peluru akan tertinggal di dalam
senjata dan dapat diambil. Penyembelihan dilaksanakan setelah ternak
benar-benar pingsan.
Sapi yang telah pingsan kemudian
dibawa ke ruang pemotongan. Proses penyembelihan di Indonesia
umumnya dilakukan secara manual melalui pemutusan sebagian kulit, otot, arteri
karotis, vena jugularis, trakhea dan esofagus dengan menggunakan pisau potong,
serta ternak dihadapkan ke arah kiblat, sehingga bagian kepala ternak ada di
sebelah selatan dan ekor disebelah utara. Pemotongan secara manual
ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan halal dari produksi daging yang
dihasilkan.
2.1.3.1.3. Pengeluaran
Darah
Proses pengeluaran (“bleeding”),
yaitu pe-nusukan leher ke arah jantung dengan menggunakan pisau
khusus. Pengeluaran darah merupakan faktor penting karena darah
merupakan media yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroorganisma dan hal ini
mempengaruhi mutu karkas( Natasasmita, 1987). Selain itu menurut
Swatland (1984) serta Williamson dan Payne (1993), proses pengeluaran darah
yang sempurna sangat penting guna menghasilkan daging dan kulit yang mempunyai
mutu penyimpanan baik, karena pengeluaran darah yang tidak sempurna selama
proses penyembelihan akan menyebabkan lebih banyak residu darah yang tertinggal
di dalam karkas, sehingga daging yang dihasilkan berwarna lebih gelap dan lemak
daging dapat tercemar oleh darah.
Agar pengeluaran darah dapat berlangsung
sempurna maka sapi yang telah mengalami penyembelihan di gantung pada gantungan
atau “conveyor”. Penggantungan dilakukan dengan jalan pengikatan
bagian atas tumit salah satu kaki belakang dengan tali tambang yang telah
dihubungkan dengan penggantung di “conveyor”, sehingga sapi tergantung dalam
posisi terbalik dan diharapkan darah cepat mengalir keluar melalui pembuluh
nadi dan vena yang telah terputus sewaktu penyembelihan.
Untuk mengetahui bahwa ternak sapi
yang telah disembelih telah benar-benar mati, maka dapat dilakukan tiga macam
uji coba, yaitu uji coba terhadap reflek mata, uji reflek kaki dan uji reflek
ekor. Uji coba reflek mata dilakukan terhadap pelupuk mata apakah
masih bergerak atau tidak. Uji coba reflek kaki dilakukan dengan
memukul persendian kaki atau dengan memijit sela-sela kuku, bila masih terjadi
gerakan atau konstraksi terkejut, maka ternak masih hidup. Uji coba
reflek ekor dilakukan dengan cara membengkokkan ekor, apabila sudah tidak ada
gerakan berarti ternak sudah mati.
2.1.3.2. Penyiapan
Karkas (“Carcassing”)
Hasil pemotongan ternak ruminansia
besar dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu bagian yang disebut karkas dan
non karkas atau yang lazim disebut “offal” yang terdiri dari kulit, kepala, keempat
kaki bagian bawah mulai dari tulang tarsus dan carpus, serta jeroan.
Selama proses penyiapan karkas,
ternak yang telah dipotong digantung pada gantungan karkas
(hook). Penggantungan biasanya dilakukan pada bagian “tendo
archiles”, yaitu pada sela-sela tulang pada kedua paha
belakang. Menurut Natasasmita (1987) Penggantungan pada bagian ini
akan menyebabkan daging menjadi lebih empuk pada bagian has dalam (“fillet”
atau “tender-loin”).
Menurut Swatland (1984), secara umum
proses pe-nyiapan karkas meliputi kegiatan sebagai berikut :
2.1.3.2.1. Pemisahan
Kepala dan Keempat Kaki
Pemisahan bagian kepala dari tubuh
ternak dilakukan pada bagian bekas pemotongan atau penyembelihan, dan yang
terbaik dilakukan pada bagian sambungan antara tulang leher dengan tulang
kepala (tulang atlas), sehingga bagian leher tidak banyak terbuang dari karkas
(Undang, 1995).
Pemotongan keempat kaki ternak yang
telah disembelih dilakukan pada bagian persendian tulang kanon, yaitu sambungan
tulang lutut (tibia dan fibula) di daerah benjolan “tarsus” untuk kaki belakang
dan pada sambungan tulang siku (radius dan ulna) di daerah benjolan tulang
“carpus” untuk kaki depan.
Pada pemotongan kedua kaki belakang
disertai pula dengan sedikit pengulitan sebatas tumit kaki belakang, begitu
pula pada pemotongan kedua kaki depan disertai dengan pengulitan pada bagian
tumit kaki depan, terus menyusur paha dan diteruskan ke bagian dada.
2.1.3.2.2. Proses
Pengulitan
Proses pengulitan atau yang lazim
disebut “skinning”, diawali dengan cara membuat irisan panjang pada kulit
sepanjang permukaan dalam (medial kaki). Kulit dipisahkan mulai dari
ventral kearah punggung tubuh.
Berdasarkan cara pelaksanaannya
dikenal tiga macam cara pengulitan, yaitu pengulitan di lantai, pengulitan
dengan di gantung, dan pengulitan dengan menggunakan mesin. Setiap
cara pengulitan mempunyai kebaikan dan keburukan. Kebaikan
pelaksanaan pengulitan di lantai, yaitu biaya peralatan rendah dan pengulitan
dapat di-lakukan secara masal (padat karya). Keburukannya, yaitu
kulit dan karkas menjadi kotor bila tercemar darah dan kotoran, serta
pelaksanaan pengulitan lebih sukar, sehingga banyak terjadi cacat, baik pada
kulit maupun karkas.
Kebaikan cara pengulitan dengan
digantung, yaitu kulit dan karkas tidak kotor, dan cacat yang terjadi tidak
terlalu banyak. Keburukan cara pengulitan dengan digantung adalah
memerlukan alat penggantung khusus dan biasanya hanya dikerjakan oleh dua orang.
Kebaikan cara pengulitan dengan
menggunakan mesin, yaitu kulit dan karkas tidak kotor atau tercemar, serta
tidak banyak cacat. Keburukannya adalah memerlukan biaya besar untuk
mesin pengulit dan memerlukan tenaga ahli khusus.
Kulit yang dihasilkan harus bagus,
karena industri penyamakan kulit memerlukan kulit berbentuk empat
persegi. Oleh karena itu untuk memperoleh hasil terbaik pada hewan
besar seperti ternak sapi, menurut Williamson dan Payne (1993) pengirisan dasar
harus dibuat sebagai berikut :
a. satu irisan panjang, lurus ke bawah di tengah-tengah,
dari dagu sampai ke dubur (pemotongan hanya mendekati ambing atau kantung buah
pelir tidak dianjurkan karena berpengaruh terhadap bentuk kulit; dua kulit
penutup yang tidak penting dibiarkan yang harus dipotong sedikit sehingga
mempengaruhi bentuk dan ukuran kulit);
b.
dua irisan melingkar pada kaki-kaki depan mengelilingi
lutut;
c.
dua irisan yang sama mengelilingi tumit pada kaki-kaki
belakang;
d. dua sayatan lurus di sebelah sisi dalam kaki-kaki
depan mulai dari lutut ke ujung depan tulang dada; dan
e. dua sayatan lurus pada kaki-kaki belakang mulai dari
belakang tiap sendi tumit ke suatu titik di pertengahan jalan antara dubur dan
kantong buah pelir atau ambing.
2.1.3.2.3. Pembelahan
Dada dan Pengeluaran Jeroan
Sebelum melakukan pembelahan dada
dan pengeluaran jeroan, terlebih dahulu dilakukan pembedahan lubang anus, dan
pada bagian ujung saluran pencernaan kemudian ditutup dengan kantung plastik
atau diikat dengan tali rafia. Perlakuan ini dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya kontaminasi antara kotoran sapi yang berada dalam saluran
pencernaan dengan bagian lainnya selama proses penyiapan karkas atau
“Carcassing”.
Pembukaan perut atau rongga
abdomen, dilakukan dengan membuat irisan dari atas ke bawah
sepanjang bagian ventral tengah, kemudian lakukan pemisahan penis dan testikel
pada ternak sapi jantan atau jaringan ambing pada ternak sapi betina, serta
lemak ruang abdominal yang sudah lepas. Belah bonggol pelvik dan
pisahkan kedua bagian tulang pelvik. Lakukan pengulitan pada ekor
bila belum dilakukan. Setelah dinding perut terbuka, kemudian dilakukan
pengeluaran jeroan, yaitu kantung kencing dan uterus bila ada, usus, lemak
susu, rumen dan bagian lain dari lambung, limpa, hati, dan ginjal yang
diselaputi lemak ginjal.
Bersamaan dengan pengeluaran jeroan
dilakukan pula pemotongan ekor atau “Oxtail”. Pemotongan ekor
biasanya dilakukan pada bagian tulang pangkal ekor (“cocygeal
vertebrae”). Akan tetapi, pemotongan ekor sapi di Indonesia umumnya
dilakukan sampai pada tulang ekor yang ketiga masih termasuk ke dalam karkas.
Pembukaan rongga dada dilakukan
dengan menggunakan gergaji, tepat melalui ventral tengah tulang dada atau
“sternum”. Setelah memotong diafragma, pisahkan bagian “pluck”,
yaitu jantung, paru-paru dan trakhea.
2.1.3.2.4. Pembelahan
Karkas
Pembelahan karkas atau yang lazim
disebut “halving”, adalah membelah karkas menjadi dua bagian yaitu karkas
bagian tubuh sebelah kanan dan karkas bagian tubuh sebelah
kiri. Pembelahan dilakukan dengan menggunakan gergaji pembelah
karkas, dengan cara pemotongan memanjang tepat melalui garis tengah tulang
belakang (“vertebrae”). Karkas bagian tubuh sebelah kiri selalu
merupakan bagian yang kencang (“tigh side”), sebab lemak ginjal melekat rapat
pada ginjal dan tulang belakang, dan karkas bagian tubuh sebelah kanan
merupakan bagian karkas yang longgar (“loose side”).
Selanjutnya karkas yang telah
dibelah dibersihkan dengan cara disemprot air bersih yang bertujuan untuk
menghilangkan kotoran-kotoran yang masih menempel pada karkas, seperti darah,
serbuk tulang dan kotoran lainnya. Kemudian dilakukan penimbangan
untuk memperoleh berat karkas segar. Karkas yang sudah bersih dapat
dibungkus dengan kain putih untuk merapikan lemak subkutan.
2.1.3.2.5. Pendinginan
Paruhan karkas yang masih hangat dan
telah di-bersihkan selanjutnya dibawa ke ruang pendinginan (“chilling
room”). Pendinginan dimaksudkan untuk mengurangi penyusutan karena
evaporasi, mengurangi “drip loss” (kehilangan cairan yang terbentuk akibat
keluarnya air dari jaringan daging yang mengandung protein, lemak dan zat gizi
lain yang terdapat dalam daging) dan mencegah kontaminasi bakteri.
Menurut Soeparno (1994) lamanya
pendinginan kira-kira 24 jam sebelum pemotongan tulang rusuk atau pemotongan
paruhan karkas (“half carcass”) menjadi perempat bagian karkas (“quarter
carcass”). Temperatur ruang pendinginan berkisar antara -40C
sampai dengan 10C, tapi menurut Blakely dan Bade (1993) temperatur
ruang pendinginan harus tetap pada 20C.
Karkas atau daging baru dapat
dikeluarkan atau dipasarkan apabila telah diperiksa oleh dokter hewan atau
petugas yang berwenang, dimana karkas yang sehat akan diberi stempel atau dicap
sebagai tanda layak dan aman untuk dikonsumsi.
2.1.3.2.6. Pelayuan.
Pelayuan adalah penanganan karkas
atau daging segar “postmortem” yang secara relatif belum meng-alami kerusakan
mikrobial dengan cara penggantungan atau penyimpanan selama waktu tertentu pada
temperatur tertentu di atas titik beku karkas atau daging
lebih kurang -1,50C. Istilah pelayuan sering
disebut “aging” atau “conditioning”, kadang-kadang disebut “hanging”. Selama
pelayuan terjadi peningkatan keempukan dan flavour daging, karena adanya
aktivitas enzim yang memecah jaringan pengikat (kolagen) yang mengelilingi
sel. Pelayuan yang lebih lama atau lebih dari 24 jam sejak
terjadinya kekakuan daging atau “rigormortis” dapat disebut
pematangan. Pelayuan biasa dilakukan pada temperatur 32 - 380F
(0 - 30c), setelah pendinginan selama kira-kira 24
jam. Pengaruh pengempukan dari pelayuan daging menurut Bratzler
(1977) dan Lawrie (1979) merupakan fungsi dari waktu dan temperatur, dimana
pada umumnya, pelayuan pada temperatur yang lebih tinggi akan menghasilkan
derajat keempukan tertentu dalam waktu yang lebih cepat daripada
temperatur yang lebih rendah. Misalnya pe-layuan selama dua hari pada
temperatur 200C menghasilkan tingkat keempukan yang sama dengan
pelayuan selama 14 hari pada temperatur 00C.
Karkas dari ternak ruminansia besar,
seperti sapi memerlukan proses pelayuan, sedangkan ternak ruminansia kecil
(domba dan kambing) bisa tidak dilayukan, karena dagingnya secara relatif sudah
empuk bila ternak dipotong pada umur yang relatif muda, dan proses kekakuan
berlangsung dalam waktu yang relatif cepat.
Proses pelayuan atau pematangan
karkas sapi prima bisa dilakukan selama periode waktu antara 15 - 40 hari,
karena adanya lapisan lemak yang tebal yang menutupi dan melindungi karkas dari
kontaminasi mikrobia. Karkas yang tidak cukup mengandung lemak
eksternal ( termasuk karkas veal) tidak dapat dilayukan dalam waktu yang lama,
karena lebih mudah diserang mikroorganisme. Hal ini sejalan dengan
pendapat Ensminger (1991), yang menyatakan bahwa karkas yang berasal dari
sapi-sapi yang mempunyai grade yang lebih baik, akan lebih tahan disimpan dalam
ruang pelayuan dibandingkan dengan grade yang lebih rendah. Semakin
lama karkas disimpan dalam ruang pelayuan maka penyusutan karkas akan semakin
besar pula.
2.1.3.2.7. Pemeriksaan
Daging
Pemeriksaan daging dari hasil
pemotongan dimaksudkan untuk :
a. melindungi konsumen dari penyakit yang dapat
ditimbulkan karena makan daging yang tidak sehat,
b.
melindungi konsumen dari pemalsuan daging, dan
c.
mencegah penularan penyakit diantara ternak.
Pemeriksaan daging
meliputi pemeriksaan sebelum ternak dipotomg, lazim disebut
pemeriksaan “antemortem” dan pemeriksaan setelah pemotongan atau yang lazim
disebut pemeriksaan “postmortem”, yaitu pemeriksaan karkas dan alat-alat dalam
(“viscera”), serta produk akhir.
Maksud pemeriksaan “antemortem”
dapat dilihat pada penjelasan perlaku-an ternak sebelum pemotongan, sedangkan
maksud pemeriksaan “postmortem” adalah untuk mengetahui kondisi karkas yang
dihasilkan dari pemotongan, layak dikonsumsi atau tidak.
Pemeriksaan “postmortem” yang biasa
dilakukan di Indonesia menurut Soeparno (1994), antara lain adalah pemeriksaan
karkas, pertama pada kelenjar limfe, pemeriksaan kepala pada bagian mulut,
lidah, bibir, dan otot maseter, dan pemeriksaan paru-paru, jantung, ginjal,
hati serta limpa. Jika terdapat kondisi abnormal lain pada karkas,
organ-organ internal atau bagian-bagian karkas lainnya, maka dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut. Keputusan hasil pemeriksaan akan
menentukan apakah karkas dan bagian-bagian karkas dapat dikonsumsi, diproses
lebih lanjut atau tidak.
3. HASIL
DAN PEMBAHASAN
3.1.
Hasil Pemotongan Ternak Sapi
3.1.1. Karkas dan
Non Karkas
Pemotongan ternak sapi menghasilkan
bagian karkas dan bagian non karkas atau sisa karkas. Karkas
merupakan hasil utama pemotongan ternak dan mempunyai nilai ekonomi yang lebih
tinggi daripada non karkas, sesuai dengan tujuan pemotongan adalah untuk
memproduksi daging. Menurut Ensminger (1991), yang dimaksud dengan
karkas sapi adalah bagian tubuh ternak sapi hasil pemotongan setelah dipisahkan
dari kepala, keempat kaki bagian bawah mulai dari carpus dan tarsus, kulit,
darah, saluran pencernaan, saluran urine, jantung, paru-paru, limpa, hati,
tenggorokan dan jaringan-jaringan lemak yang melekat pada bagian tubuh,
sedang-kan organ ginjal sering dimasukkan sebagai karkas.
Berg dan Butterfield (1976),
menyatakan bahwa komponen karkas terdiri dari jaringan tulang, daging dan
lemak. Tulang sebagai komponen yang tumbuh dan berkembang paling
dini, kemudian disusul oleh daging dan lemak. Proporsi komponen-komponen
karkas tersebut dipengaruhi oleh faktor bangsa (genetik), umur, ransum dan
penyakit (Tulloh, 1978).
Hasil karkas umumnya dinyatakan oleh
persentase karkas atau “dressing percentage”, yaitu hasil bagi berat karkas
dengan bobot hidup waktu disembelih dikalikan 100 persen (Cole, 1982).
Menurut Natasasmita (1978), untuk
memperoleh ketepatan data dalam penelitian, persentase karkas dibedakan menjadi
dua macam, yaitu persentase karkas semu dan persentase karkas
sebenarnya. Persentase karkas semu adalah berat karkas dibagi bobot
hidup dikalikan 100 persen, sedangkan persentase karkas sebenarnya adalah berat
karkas dibagi bobot hidup kosong (BTK) dikalikan 100 persen. Bobot
hidup kosong (BTK) dapat diketahui dari hasil penimbangan ternak yang akan
dipotong setelah mengalami perlakuan pe-muasaan, karena bobot hisup kosong
adalah bobot tubuh setelah dikurangi isi saluran pencernaan, isi kantong
kencing dan isi saluran empedu. Persentase karkas semu lebih rendah
dibandingkan persentase karkas sebenarnya. Sementara ini persentase
karkas yang sering dikemukakan secara umum adalah persentase karkas semu.
Persentase karkas dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu kualitas ransum, transportasi sebelum pemotongan ke
rumah potong, penimbangan terhadap karkas segar dan karkas layu serta proporsi
dari bagian sisa karkas (Berg dan Butterfiled, 1976). Persentase
karkas sapi daging kebiri yang berasal dari pameran dapat mencapai 63% dan sapi
kurus baik jantan maupun betina adalah 40% -50% (Anderson, 1952 dikutip oleh
Usri, 1990). Selanjutnya Allen dan kilkenny (1984) menyatakan bahwa,
kisaran normal persentase karkas sapi adalah 50 - 60%, hal ini sesuai dengan
pendapat Gerrard (1977), yang menyatakan bahwa rata-rata persentase karkas sapi
adalah 56% dari bobot tubuh sapi tersebut, dan dari persentase karkas yang
dihasilkan tersebut terdiri dari 37,5% komponen daging dan sisanya sebanyak
18,5% merupakan komponen tulang dan lemak.
Pemotongan ternak sapi selain
menghasilkan karkas, juga menghasilkan non karkas atau bagian sisa karkas, yang
juga lazim disebut “offal”. Bagian sisa kerkas terdiri dari, kepala,
kaempat kaki bagian bawah, darah, jeroan dan kulit (Tulloh, 1978).
Menurut Whytes dan Ramsay (1979),
komponen sisa karkas terdiri dari organ internal dan organ
eksternal. Organ internal terdiri atas hati, jantung, paru-paru,
limpa, perut, usus, pankreas, oesophagus dan kantong kemih, sedangkan yang
termasuk organ eksternal adalah kepala, kulit, kaki, ekor, darah, penis dan scrotum.
Pendapat lain menyatakan bahwa, sisa
karkas dibagi menjadi dua bagian, yaitu “edible offal” dan “inedible offal”
(Gerrard, 1977). “Edible offal” adalah bagian sisa karkas yang masih layak
dimakan, seperti kepala, hati, jantung, paru-paru, ginjal, limpa, perut, ekor
dan darah. Sedangkan “inedible offal” adalah bagian sisa karkas yang tidak
layak dimakan, misalnya tanduk, bulu, saluran kantong kemih, kulit, tulang.
Oesophagus.
Komponen sisa karkas ini dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut :
1.
Bangsa Ternak
Pengaruh bangsa berhubungan dengan
perbedaan genetik tiap bangsa dalam mencapai ukuran dewasa, dari tiap bangsa
terdapat perbedaan kecepatan pertumbuhan dari komponen tubuh. Akibat
perbedaan tersebut akan meningkat-kan keragaman proporsi tubuh pada berat yang
sama (Berg dan Butterfiled, 1976).
2.
Jenis Kelamin
Sapi jantan mempunyai berat kepala
dan berat kaki lebih ringan daripada sapi jantan yang dikastrasi (kebiri)
(Prescott dan Laming, 1964).
3.
Ransum
Peningkatan kandungan konsentrat
pada ransum akan menurunkan isi perut dan meningkatkan persentase karkas.
Apabila pemberian serat kasar tinggi akan meningkatkan isi perut dan menurunkan
persentase karkas (Whytes dan Ramsay, 1979).
4.
Umur
Persentase berat rumen, retikulum
dan omasum akan meningkat dengan bertambahnya umur (Walker dan Walker, 1961).
3.1.2. Potongan
Karkas Komersial
Paruhan karkas (“half carcass”) sapi
sebelah kiri maupun kanan setelah pemeriksaan biasanya dibagi lagi menjadi
bagian seperempat bagian (“quarter carcass”), yaitu karkas bagian perempat
depan (“forequarter”) dan karkas bagian perempat belakang (“hindquarter”)
(Undang, 1995).
Menurut Gerrard (1977) dan Undang
(1995), untuk membagi paruhan karkas menjadi bagian perempat depan dan perempat
belakang, terdapat beberapa perbedaan tempat pembagian pada berbagai
negara. Di Amerika Serikat, pembagian dilakukan antara tulang rusuk
ke-12 dan ke-13. Di beberapa negara Eropa, pembagian
perempatan bagian karkas dilakukan antara tulang rusuk ke-8 dan
ke-9. Di Australia, pembagian dilakukan antara tulang rusuk ke-10
dan ke-11, sedangkan di Indonesia bervariasi, misalnya di rumah potong Cakung
pembagian dilakukan antara tulang rusuk ke-5 dan ke-6, akan tetapi pada rumah
potong hewan swasta umumnya melakukan pembagian perempatan bagian karkas
didasarkan pada standar yang ditentukan dari USDA (“United States
Departement of Agriculture”).
Lokasi daging yang berkualitas prima
menurut Undang (1995), pada bagian karkas tersebut tergabung dalam
bagian-bagian recahan paha, pinggul, bokong, dan iga utama, yaitu pada recahan
nomor 4, 5, 6, 7, dan 8. Karena gabungan recahan karkas prima
tersebut bentuknya mirip pistol maka gabungan tersebut di Amerika Latin disebut
“pistola”, di Skotlandia disebut “gun”, sedangkan di Perancis disebut “pan
traite”.
Karkas perempatan bagian tersebut,
kemudian dipotong-potong lagi menjadi potongan-potongan besar atau recahan
karkas utama (“wholesale cuts”) yang dapat dipotong-potong lagi menjadi
potongan-potongan eceran atau recahan karkas kecil (“retail cuts”).
Recahan karkas kecil diperoleh dari
hasil perecahan karkas utama melalui proses “boning”, yaitu pemisahan antara
tulang dan daging serta pemotongan daging menjadi potongan-potongan daging atau
“items”. Recahan-recahan karkas kecil inilah yang biasanya diperjual
belikan di toko-toko dan super market dalam satuan berat tertentu (1 kg,
½ kg, dan sebagainya), serta dalam bentuk dan ukuran tertentu pula.
3.1.3. Hasil
Sampingan Pemotongan Sapi
Karkas atau daging merupakan hasil
utama dari suatu pemotongan ternak sapi, dan mempunyai nilai ekonomi yang lebih
tinggi daripada non karkas. Bagian non karkas atau yang lazim
disebut “offal”, terdiri dari bagian-bagian yang layak dimakan (“edible offal”)
dan bagian-bagian yang tidak layak dimakan (“inedible offal”).
Bagian non karkas yang layak dimakan
banyak macamnya, seperti bagian-bagian jeroan ternak. Di Indonesia
jeroan banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Jeroan mengandung
gizi cukup tinggi dan harganya lebih murah daripada daging. Rincian
pemanfaatan bagian non karkas yang layak dimakan dapat dilihat pada Tabel
3.1.
Komponen-komponen non karkas yang
tidak layak di-makan dapat diproses dan dimanfaatkan menjadi produk-produk yang
bernilai ekonomi cukup tinggi. Menurut Balkely dan Bade (1992),
lebih dari 100 macam hasil sampingan penyembelihan sapi diproses dan
dipasarkan, mulai dari kulit sampai lem, obat-obatan sampai lilin, sabun sampai
sikat dan masih banyak lagi.
Hasil pengolahan komponen non karkas
yang tidak layak dikonsumsi manusia, antara lain adalah tepung tulang, tepung
darah, dan bermacam-macam hasil olahan yang berasal dari kulit, tanduk dan
kuku.
Tabel 3.1 Pemanfaatan Bagian Non Karkas
Ternak Sapi yang Layak Dimakan.
______________________________________________________________
Komponen Non
Karkas Manfaat
______________________________________________________________
Otak, Jantung, ginjal, hati,
paru-paru, limpa,
pankreas Aneka
ragam daging
dan
lidah.
Ekor Sup
Pipi dan tetelan
kepala
Bahan sosis
Ekstrak
daging Sup
Lambung -
pedet
Renet untuk pembuatan keju.
-
sapi Bahan
sosis, Aneka
ragam
daging
Tulang Es
krim dan agar-agar.
Lemak Bahan
peremah kue,
kembang
gula, bahan
pakan
kalori tinggi.
Usus kecil dan
besar Selongsong
sosis dan
Aneka
ragam daging.
__________________________________________________________________
Sumber : Forrest et al. (1975).
Kulit adalah hasil sampingan terpenting
dari penyembelihan sapi. Sepatu, ikat pinggang, dompet, perkakas
rumah, pakaian, alat-alat atletik, wayang kulit, hiasan dinding, tas, lem,
bahkan alat musik seperti drum dapat dibuat dari kulit sapi. Umumnya
kulit direndam dalam larutan garam dan dilakukan “curing” paling sedikit selama
24 jam sebelum disamak. Kebanyakan penyamak sudah biasa melakukannya
membeli kulit dari rumah potong. Kulit yang berat direndam untuk
beberapa minggu dalam larutan penyamak yang dibuat dari kulit pohon untuk mendapatkan
kekenyalan maksimum, sedangkan garam chrom digunakan untuk kulit yang lebih
ringan.
Lemak yang tidak termakan dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu bahan dalam pembuatan sabun, bahan kimia,
plastik, minyak pelumas, zat anti beku, cat, dan bahan pakan yang mengandung
kalori tinggi untuk ayam broiler.
Ekstrak dari kulit dan tulang,
terutama dari jaringan pengikat yang disebut kolagen, digunakan untuk membuat
lem dan perekat lainnya.
Sisa-sisa rambut dari kulit digunakan
untuk mem-buat sikat, bahan pengisi lapisan topi, bahan pengisi bantal,
permadani, bahan penyekat dan lain-lain.
Tanduk dan kuku atau teracak
digunakan dalam pembuatan zat gizi untuk tanaman dan pupuk, sisir, kancing,
ornamen dan dadu. Setelah dihaluskan dan dibakar dapat dihasilkan
suatu produk yang dapat digunakan dalam pemurnian atau penyulingan
gula. Selain itu menurut Blakely dan Bade (1992), masih banyak lagi
hasil atau produk sampingan, lebih dari 35 macam obat-obatan dan bahan farmasi
dapat diekstraksi dari organ dan kelenjar yang diambil dari ternak
sapi. Satu contoh adalah insulin yang diambil dari organ pankreas
sebagai obat untuk penyakit diabetes.
Menurut Soeparno (1994), di beberapa
negara termasuk Indonesia, kotoran ternak telah dimanfaatkan sebagai sumber
bahan-bahan yang penting, misalnya gas bio, dan sebagai pupuk.
4. PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dimuka, maka
dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Ternak ruminansia besar seperti sapi dan kerbau
merupakan salah satu sumber daging yang dapat dikonsumsi manusia.
2. Tempat pemotongan ternak berdasarkan manajemen dan
fasilitas yang digunakan dibedakan menjadi tiga, yaitu tempat pemotongan
tradisional, rumah potong hewan umum dan rumah potong pabrik.
3.
Tahapan pemotongan ternak ruminansia besar dibagi
menjadi dua bagian utama, yaitu tahapan penyembelihan dan tahapan penyiapan
karkas.
4.
Hasil pemotongan ternak ruminansia menghasilkan karkas
dan non karkas.
5. Untuk memudahkan transportasi dan pemasaran, karkas
dipotong menjadi recahan karkas utama atau “Whole-sale cuts” yang dapat
dipotong-potong lagi menjadi recahan karkas kecil atau “retail cuts”.
DAFTAR PUSTAKA
1. Allen,
D. dan B. Kilkenny. 1984. Planned beef production. Granada
Publishing
: Toronto, London, New York.
2. Berg,
R.T. dan R.M. Butterfield. 1976. New concepts
of cattle growth.
Sydney
University Press : Sydney.
3. Blakely,
J. dan D.H. Bade. 1992. Ilmu peternakan diterjemahkan
oleh
Bambang
Srigandono. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.
4. Bratzler,
L.J., Gaddis, A.M. dan Sulzbacher. 1977. Fundamentals
of food
freezing. The AVI Publishing
Company Inc. : Westport, Connecticut.
5. Cole,
H.H. 1982. Introduction to livestock Production. W.H.
Freeman &
Company
: London.
6.
Ensminger, M.E. 1991. Animal science. 9th
Ed. The Interstate Printers and
Publishers
Inc., Denville, Illinois.
7. Forrest,
J.C., E.D. Aberle, H.B. Hendrick, M.D. Judge, and R.A. Markel.
1975. Principle
of meat science. W.H. Freeman and Company :
San
Fransisco.
8. Gerrard,
F. 1977. Meat technology. 5th Ed.
Northwood
Publication Ltd. : London.
9. Lawrie,
R.A. 1979. Meat science. 3rd
Edition. Pergamon Press.
10. Natasasmita,
s. 1987. Evaluasi Daging. Fakultas
Peternakan, Institut
Pertanian
Bogor : Bogor.
11. Prescot,
J.H., and G.E. Lamming. 1964. The Effect of castration
in meat
production in cattle, sheep and pigs. J.
Agr. Sci.Vol. 63.
12. Soeparno. 1994. Ilmu
dan teknologi daging. Gadjah Mada University Press
Yogyakarta.
13. Swatland,
H.J. 1984. Structure and development of
meat animals. Prentice-
Hall
Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.
14. Tulloh,
N.M. 1978. Growth, development, body,
composition,
breeding and management. A Course Manual in Beef
Cattle
Management and Economics. Academy Press Pty., Ltd.,
Brisbane.
15. Undang,
S. 1995. Tatalaksana pemeliharaan ternak sapi. Penebar
Swadaya
Jakarta.
16. Usri,
N. 1990. Dampak bobot badan awal terhadap penampilan
produksi
hasil
penggemukan pedet Holstein Friesian jantan. Laporan Peneliti-
an. Fakultas
Peternakan, Universitas Padjadjaran : Bandung.
17. Walker,
D.M. and G.J. Walker. 1961. The development of
digestive of rumen
function
in young lamb. J.
Agr. Sci. Vol. 57.
18. Whytes,
J.R. and W.R. Ramsay. 1979. Beef carcass composition
and meat
quality. first Edition
Queensland Departement of Primary Industries
Brisbane.
19. Williamson,
G. and W.J.A. Payne. 1993. Pengantar peternakan
di daerah
tropis, diterjemahkan oleh Djiwa
Darmadja. Gadjah Mada University
Press
: Yogyakarta.