1.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Daging adalah bahan pangan yang bernilai gizi tinggi karena
kaya akan protein, lemak, mineral serta zat lainnya yang sangat dibutuhkan
tubuh. Daging juga merupakan bahan pangan yang sangat baik bagi pertumbuhan dan
perkembangbiakan mikroorganisme sehingga dapat menurunkan kualitas daging.
Daging mudah sekali mengalami kerusakan mikrobiologi karena kandungan gizi dan
kadar airnya yang tinggi. Kerusakan pada daging ditandai dengan perubahan bau
dan timbulnya lendir yang terjadi pada daging tersebut. Oleh sebab itu
diperlukan uji fisik sebelum daging dikonsumsi.
Pengujian secara
fisik dapat dilakukan dengan cara melihat nilai pH, susut masak, Daya Mengikat
Air, serta keempukan. Pengujian secara fisik ini dilakukan untuk melihat
kualitas daging secara keseluruhan. Dengan mengetahui pH kita dapat memastikan
bahwa daging itu berkualitas baik ataupun tidak. Oleh karena itu, pengujian
sifat fisik daging sangat diperlukan.
1.2.
Tujuan
Tujuan praktikum
ini adalah untuk menilai kualitas daging secara uji fisik dengan mengamati
nilai pH, Daya Mengikat Air (DMA), susut masak dan keempukan.
1.3.
Manfaat
Untuk mengetahui menilai kualitas daging secara uji fisik
dengan mengamati nilai pH, Daya Mengikat Air (DMA), susut masak dan keempukan.
2. TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Daging
Menurut Soeparno
(2005), daging adalah semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan
jaringan-jaringan tersebut dapat dimakan serta tidak menimbulkan gangguan
kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Lawrie (1998) mendefinisikan daging dalam
arti khusus sebagai bagian dari hewan yang digunakan sebagi makanan. Menurut
SNI 3932-2008 definisi daging segar adalah daging yang belum diolah atau tidak
ditambahkan dengan bahan apapun. Daging beku adalah daging segar yang sudah
mengalami proses pembekuan di dalam blast freezer dengan temperature internal
minimal -18˚C.
2.1.1.
Susut Masak
Pendapat Soeparno
(1994), bahwa pada umumnya nilai susut masak daging sapi bervariasi antara
1,5–54,5% dengan kisaran 15–40%. Daging bersusut masak rendah mempunyai
kualitas yang relatif baik dibandingkan dengan daging bersusut masak besar,
karena resiko kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Susut
masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar
air daging, yaitu banyaknya air yang terikat didalam dan di antara otot. Daya
ikat air (WHC) yang rendah akan mengakibatkan nilai susut masak yang tinggi.
WHC sangat dipengaruhi oleh nilai pH daging. Menurut Soeparno (1994) apabila nilai pH lebih tinggi atau lebih
rendah dari titik isoelektrik daging (5,0−5,1) maka nilai susut masak daging
tersebut akan rendah.
2.1.2.
pH
Menurut Forest et al. (1975), pH daging pada ternak hidup
berkisar antara 6,8-7,2, sedangkan menurut Buckle et al. (1987) pH daging pada
ternak hidup berkisar antara 7,2-7,4. Pada beberapa ternak, penurunan pH
terjadi satu jam setelah ternak dipotong dan pada saat tercapainya rigormortis.
Pada saat itu nilai pH daging ada yang tetap tinggi yaitu sekitar 6,5-6,8,
namun ada juga yang mengalami penurunan dengan sangat cepat yaitu mencapai
5,4-5,6. Peningkatan pH dapat terjadi akibat partumbuhan mikroorganisme Nilai
pH daging sapi setelah perubahan glikolisis menjadi asam laktat berhenti
berkisar antara 5,1-6,2 (Buckle et al.,1987).
Nilai pH otot pascamerat akan menurun pada saat pembentukan
asam laktat akan menurunkan DIA dan akan banyak air yang berasosiasi dengan
protein otot yang bebas meninggalkan searbut otot. Pada titik isolektrik
protein myofibril, filamen myosin dan filamen aktin akan saling mendekat,
sehingga ruang diantara filamen-filamen menjadi kecil. Daya mengikat air akan
menurun pada saat pemecahan dan habisnya ATP serta pada saat terbentuknya
rigormortis.
Bouton et al. (1971) dan Wismer-Pedersen (1971) menyatakan
bahwa daya ikat air oleh protein daging dipengaruhi oleh pH. Daya mengikat air
menurun dari pH tinggi sekitar 7 – 10 sampai pada pH titik isoelektrik
protein-protein daging antara 5,0 – 5,1. Pada pH isoelektrik ini protein daging
tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan
solubilitasnya minimal.
Pada pH yang lebih
tinggi dari pH isolektrik protein daging, sejumlah muatan positif dibebaskan
dan terdapat surplus muatan negative yang mengakibatkan penolakan dari
miofilamen dan member lebih banyak ruang untuk molekul air. Pada saat pH lebih
rendah dari titik isoelektrik protein-protein daging akan terjadi kelebihan
muatan positif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan akan memberi ruang
yang lebih banyak bagi molekul-molekul air. Dengan demikian pada saat pH daging
diatas atau dibawah titik isolektrik protein-protein daging maka DMA akan
meningkat.
2.1.3.
Daya
mengikat Air
Daya ikat air oleh protein daging atau disebut dengan Water
Holding Capacity (WHC), didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan
airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan, misalnya
pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Daging juga mempunyai
kemampuan untuk menyerap air secara spontan dari lingkungan yang mengandung
cairan (water absorption).
Ada tiga bentuk ikatan air di dalam otot yakni air yang
terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4 – 5% sebagai lapisan
monomolekuler pertama, kedua air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari
molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar kira-kira 4%, dimana lapisan
kedua ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap air meningkat. Ketiga
adalah adalah lapisan molekul-molekul air bebas diantara molekul protein,
besarnya kira-kira 10%. Denaturasi protein tidak akan mempengaruhi perubahan
molekul pada air terikat (lapisan pertama dan kedua), sedang air bebas yang
berada diantara molekul akan menurun pada saat protein daging mengalami
denaturasi (Wismer-Pedersen, 1971).
Otot-otot dengan
proporsi ekstrem tinggi dalam mengikat air adalah firm (keras), mempunyai
struktur ketat, dan mempunyai tekstur kering atau lengket. Sebaliknya jaringan
dengan kemampuan mengikat air yang rendah adalah lunak (soft) mempunyai
struktur yang terbuka (renggang), dan teksturnya basah atau berbiji/berurat.
Pemerataan air intraseluler pada kasus yang pertama dan air ekstraseluler pada
kasus yang terakhir menjelaskan perbedaan-perbedaan ini yang berhubungan dengan
kemampuan mengikat air.
2.1.3.1.
Faktor-Faktor
Penyebab Variasi Daya Ikat Air Oleh Protein Daging
Ada beberapa faktor
yang bisa menyebabkan terjadinya variasi pada daya ikat air oleh daging
diantaranya: faktor pH, faktor perlakuan maturasi, pemasakan atau pemanasan,
faktor biologik seperti jenis otot, jenis ternak, jenis kelamin dan umur
ternak. Demikian pula faktor pakan, transportasi, suhu, kelembaban, penyimpanan
dan preservasi, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak
intramuskuler. Penurunan daya mengikat air dapat diketahui dengan adanya
eksudasi cairan yang disebut weep pada daging mentah yang belum dibekukan atau
drip pada daging mentah beku yang disegarkan kembali atau kerut pada daging
masak. Dimana eksudasi tersebut berasal dari cairan dan lemak daging (Soeparno,
2005).
2.1.4.
Keempukan
Daging
Menurut Lawrie (1995), penyebab utama kealotan daging adalah
karena terjadinya pemendekan otot pada saat proses rigormortis sebagai akibat
dari ternak yang terlalu banyak bergerak pada saat pemotongan. Otot yang
memendek menjelang rigormortis akan menghasilkan daging dengan panjang sarkomer yang pendek, dan lebih
banyak mengandung kompleks aktomiosin atau ikatan antarfilamen, sehingga daging
menjadi alot (Soeparno, 1994). Menurut Soeparno (1994) menjelaskan bahwa
peregangan otot atau pencegahan terhadap pengerutan otot akan meningkatkan
keempukan daging, karena panjang sarkomer miofibril meningkat. Penggantungan
karkas dapat meningkatkan panjang sejumlah otot sehingga daging menjadi empuk.
Keempukan daging juga dapat disebabkan oleh tekstur daging. Semakin halus
teksturnya, maka daging menjadi empuk (Soeparno,2005).
Nilai daya putus Warner-Bratzler menunjukkan tingkat
keempukan daging. Proses pelayuan akan menurunkan daya putus Warner-Bratzler,
sehingga dapat meningkatkan keempukan daging. Pengaruh pelayuan dan peregangan
otot terhadap daya putus Warner-Bratzler menjadi lebih besar setelah pemasakan
(Bouton and Harris, 1972).
3. MATERI DAN METODE
3.1.
Materi Dan
Metode
Praktikum uji analisis fisik ini meliputi beberapa indikator,
diantaranya adalah pengukuran pH, keempukan, susut masak dan daya mengikat air
(DMA). Alat dan bahan yang digunakan dalam uji pH adalah daging, pH meter,
larutan Buffer 4 da 7, tissue dan aquadest. Pengujian keempukan alat yang
digunakan adalah kompor, panci, air, termometer bimetal, correr, dan warner
blatzer. Pada pengujian susut masak alat yang digunakan adalah timbangan
digital, kompor, panci, air, termometer bimetal, sedangkan pengujian pengujian
daya mengikat air (DMA) alat yang digunakan adalah pisau, talenan, timbangan
analitik, kertas saring, corperpress, dan planimeter.
3.1.1.
Prosedur
1)
Pemgukuran
pH Daging
Alat pH meter daging (meat pH meter Hanna) dikalibrasi
terlebih dahulu pada buffer pH 7 dan 4, lalu tusukan pH meter pada sampel
daging sebanyak tiga titik tusukan membentuk segitiga. Besarnya pH daging akan
muncul secara digital di layar pH meter Hanna.
2)
Keempukan
Daging
Pengujian keempukan daging, dimulai dengan Sampel direbus
sampai suhu dalamnya mencapai 81˚C, Ditusukkan termometer bimetal pada sampel
daging untuk mengukur suhu internal daging, kemudian daging didinginkan. Dibuat
2-3 core daging. Uji setiap core dengan menggunakan warner bratzler. Anak panah
berwarna merah pada warner blatzer diamati saat memotong daging, nilai yang
tertera merupakan nilai dari keempukan daging.
3)
Susut Masak
Daging
Sampel daging yang tersedia ditimbang (berat awal) pada
timbangan digital sebelum direbus dalam air yang mendidih. Daging direbus
hingga suhu dalam daging mencapai 81˚C. Setelah mencapai suhu tersebut
dinginkan daging dan timbang kembali pada timbang digital (berat akhir). Susut
masak daging didapatkan dari hasil hitung :
% Susut masak = Berat sebelum pemasakan
–Berat setelah pemasakan x 100
Berat sebelum
pemasakan
4)
Daya
Mengikat Air (DMA)
Pengujian daya mengikat air daging dilakukan dengan
dipotongnya sampel kecil hingga beratnya mencapai 0,3 gram, agar mendapatkan
hasil yang akurat timbang potongan daging pada timbangan analaitik. Daging 0,3
gram tersebut ditaruh di antar dua kertas saring jenis whatman, lalu di press
di alat corperpess hingga tekanan 35 kg/m2 selama 5 menit. Setelah daging dalam
tumpukan kertas saring sudah menjadi cetakan seperti lempengan ukur luasan
daging tersebut menggunakan planimeter. Ukur luas area basah daging dengan cara
:
Luas Area Basah = ∆ LL – ∆ LD
100
Setelah
mendapatkan luas area basah, ukur mgH2O yang terkandung :
mg H2O = Luas area basah (cm2) – 8,0
0,0948
Persen
air bebas yang ada menunjukan daya mengikat air (DMA) dalam daging, menghitung
persen air bebas :
% air bebas = mgH2O X 100%
300
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Hasil
Tabel 1, Data Hasil Pengamatan Uji
Fisik Kualitas Daging Segar Thowing (Knuckle)
Jenis Pengujian Kelompok
|
1 dan 2
|
3 dan 4
|
5 dan 6
|
pH
|
5,6
|
5,46
|
5,61
|
%Susut Masak
|
40,3
|
40,21
|
42,6
|
Keempukan
|
8,83
|
8,7
|
7,5
|
% DMA
|
42,01
|
34,53
|
28,86
|
Keterangan
keempukan :
0
– 3 = empuk
3
– 6 = sedang
>
6 = alot (keras)
4.2.
Pembahasan
Hasil pengamatan pada paktikum pengujian fisik kualitas
daging segar thowing knuckle pada tiap kelompok menunjukkan nilai yang berbeda.
Rata- rata nilai pH daging1,daging2
dan daging3 adalah 5,55. Forest et al., 1975 mengatakan bahwa pada beberapa
ternak, penurunan pH terjadi satu jam setelah ternak dipotong dan pada saat
tercapainya rigormortis, ada saat itu nilai pH daging ada yang tetap tinggi
yaitu sekitar 6,5-6,8, namun ada juga yang mengalami penurunan dengan sangat
cepat yaitu mencapai 5,4-5,8. Hal ini tidak menunjukkan hasil yang jauh berbeda
dengan pengamatan praktikum. Adanya perbedaan ini disebabkan karena berbedanya
kandungan glikogen yang ada di setiap otot. Berbedanya kandungan glikogen
ketiga sampel daging ini karena bagian knuckle terletak di paha belakang atau
depan yang digunakan untuk beraktivitas sehari-hari sehingga perlu energy lebih
banyak. Pengaruh lain yang mengakibatkan peningkatan pH adalah umur dari sapi
yang sudah tua dan juga dapat terjadi akibat pertumbuhan mikroorganisme nilai
pH daging sapi setelah perubahan glikolisis menjadi asam laktat berhenti
berkisar antara 5,1-6,2 (Buckle et al.,1987).
Daya mengikat air atau
water holding capacity (WHC) merupakan kemampuan daging untuk mengikat
airnya. Hasil pengamatan pada uji daya mengikat air pada tiap daging,
meninjukkan hasil yang bebeda. Daya mengikat air pada daging1 (42,01%), daging2
(34,53%), daging3 (28,86%). Rata-rata daya mengikat air dari tiap daging adalah
35,16%.
Perbedaan DMA ini
antara lain disebabkan oleh perbedaan jumlah asam laktat yang dihasilkan,
sehingga pH di antara dan di dalam otot berbeda. Fungsi atau gerakan otot yang
berbeda juga ikut mempengaruhi perbedaan DMA karena perbedaan jumlah glikogen
yang menentukan besarnya pembentukan asam laktat dan penurunan pH bervariasi.
Laju penurunan pH otot yang cepat akan mengakibatkan DMA menjadi rendah
(Soeparno, 2005). Oleh karena itu semakin rendah persentase DMA dari sampel
daging maka semakin tinggi kandungan H2O dari daging tersebut.
Susut masak
merupakan perbedaan (selisih) bobot awal dengan bobot akhir setelah dimasak.
Susut masak pada daging yang diamati adalah 40,31%, 40,21%, dan 42,6%. Soeparno
(1994), menyatakan bahwa pada umumnya nilai susut masak daging sapi bervariasi
antara 1,5–54,5% dengan kisaran 15–40%. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa
susut masak dari daging petama dan daging kedua, tidak memunjukkan hasil yang
jauh berbeda karena berasal dari ternak yang sama. Rata- rata susut masak dari
ketiga daging adalah 41,03%, ini tidak jauh menyimpang dari standar susut masak
daging pada umumnya. Perbedaan antara susut masak daging1, daging2, dan daging
3 disebabkan oleh panjang serabut otot dari tiap daging yang berbeda. Soeparno,
1994 mengatakan bahwa susut masak dipengaruhi panjang serabut otot. Semakin
panjang serabut otot suatu daging, maka susut masak semakin rendah, demikian
sebaliknya, semakin pendek serabut otot suatu daging, maka susut masak semakin
besar. Susut masak juga dipengaruhi oleh umur dan bangsa ternak.
Keempukan
merupakan penentu yang paling penting pada kualitas daging. Keempukan pada uji
kualitas fisik daging yang dilakukan pada daging1 (8,83GMS), daging2 (8,7GMS),
daging3(7,5GMS). Berdasarkan nilai keempukan dari tiga sampel daging knuckle tersebut
maka dapat diketahui jika ketiga sampel daging tersebut termasuk ’alot’
terbukti dari nilai keempukan sekitar 8,343, berdasarkan kisaran keempukan
daging menurut Pearson (1963). Menurut Lawrie (1995), penyebab utama kealotan
daging adalah karena terjadinya pemendekan otot pada saat proses rigormortis
sebagai akibat dari ternak yang terlalu banyak bergerak pada saat pemotongan.
Otot yang memendek menjelang rigormortis akan menghasilkan daging dengan
panjang sarkomer yang pendek, dan lebih banyak mengandung kompleks aktomiosin
atau ikatan antarfilamen, sehingga daging menjadi alot , pH juga berpengaruh
terhadap keempukkan. pH yang tinggi akan mengakibatkan keempukkan meningkat dan
jus meningkat pula (Soeparno, 1994), selain itu Bate-Smith, 1948 menyatakan
bahwa keempukan daging menurun dengan meningkatnya umur ternak.
Berdasarkan hasil pengamatan, daging dari sumber yang sama,
memiliki pH, DMA, susut masak, dan keempukan yang berbeda. Daging1, dengan pH
5,6 dan DMA 42,01 memiliki susut masak 40,3% dan keempukan 8,83. Daging2
memiliki pH 5,46, DMA 34,53%, susut masak 40,21% dengan keempukan 8,7. Daging3
memiliki pH 5,61 DMA 28,86%, susut masak 42,6% keempukan 7,5. Hasil pengamatan
yang dilakukan pada tiga sampel daging menunjukkan jika pada daging kelompok 5
dan 6 (daging3) yang memiliki nilai pH tertinggi memiliki nilai keempukan yang
paling rendah artinya daging yang dimiliki lebih empuk dibandingkan kelompok
lain. Hal tersebut sesuai dengan teori namun daging pada 1kelompok 1 dan 2 yang
memiliki nilai pH sedang yaitu 5,6 memilliki nilai keempukan yang ditunjukan
alat Warner Blatzler paling tinggi yaitu8,83 yang menunjukkan daging tersebut
paling alot dibandingkan kedua sampel lainnya. Hal tersebut tidak sesuai dengan
teori karena daging2 dari kelompok 3 dan 4 yang memiliki nilai pH paling
rendahlah yang seharusnya memiliki nilai keempukan paling rendah (nilai yang
ditunjukkan alat Warner Blatzler paling tinggi).
Persentase DMA yang rendah mengindikasikan jika banyaknya
kandungan H2O dalam daging akan akan meninggikan nilai persentase susut masak
daging. Hasil yag didapatkan menunjukkan jika data kelompok 5 dan 6 yang
memiliki nilai DMA paling rendah memiliki susut masak yang paling tinggi
dibandingkan dengan kedua sampel daging lainnya. Daging1 dari kelompok 1 dan 2
serta daging2 dari kelompok 3 dan 4 penyimpangan dari teori. Persentase DMA
yang paling tinggi yakni pada daging1( kelompok 1 dan 2) seharusnya memiliki
nilai susut masak yang paling tinggi pula, akan tetapi hasil menunjukkan jika
susut masak yang tertinggi terdapat pada daging2( kelompok 3 dan 4 )yang
memiliki nilai DMA yang lebih rendah dari daging1 (1 dan 2). Hal tersebut
terjadi karena adanya perbedaan jumlah glikogen yang berakibat pada perbedaan
jumlah asam laktat untuk mengikat air dari sampel daging tersebut.
5. PENUTUP
5.1.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat disimpulkan bahwa uji
kualitas daging dapat dilihat dari nilai pH, Daya Mengikat Air, susut masak dan
keempukan. Semakin tinggi pH suatu daging, maka daya mengikat airnya semakin
tinggi, dan pH yang tinggi, akan mempengaruhi nilai keempukan yang semakin
tinggi (alot) dan susut masak yang rendah. Hubungan Daya Mengikat Air dengan
susut masak adalah berdanding terbalik. Bedasarkan teori nilai dari tiap
indicator, pada Daging1 dari kelompok 1 dan 2 serta daging2 dari kelompok 3 dan
4 tidak menunjukkan pebandingan yang baik dan sesuai.
DAFTAR PUSTAKA
Bouton
PE, Harris PV, Shorthose WR. 1972. The effects of cooking temperature and time
on some mechanical properties of meat. J. Food Sci. 97: 140-144.
Buckle,
K.A., R.A. Edwards,G.H. Fleet, dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan:
Hari Purnomo Adiono. UI Press: Jakarta.
Fardiaz,
S. 1992. Mikrobiologi Pengelolaan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Forrest,
J.C., E.D. Aberle, H.B. Hendrick, M.D. Judge, and R.A Merkel. 1975. Principles
of Meat Science. Freeman, London.
Lawrie,
R.A. 1998. Lawrie’s Meat Science. 6th Edition. Woodhead Publishing Ltd.,
Cambridge.
Soeparno.
1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Soeparno.
2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan keempat. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Wismer-Pedersen,
J. 1971. Pada The Science of Meat and Meat Products. 2nd Ed. J.F. Price and
B.S. Schweigert, W.H. Frreeman and Co., San Fransisco.